Laman

Selasa, 18 Oktober 2011

Adakah Utang Piutang Yang Boleh Menarik Untung?

Suftajah adalah kasus dengan gambaran sebagai berikut. A berhutang kepada B di suatu kota dengan perjanjian A melunasi hutangnya kepada B di kota yang lain. Misal A berhutang B dan B menyerahkan uang kepada A di kota Jogja dengan syarat pelunasan dilakukan di Jakarta.
Hukum transasi semacam ini diperselisihan oleh para ulama. Mayoritas ulama membolehkannya. Meski ada juga yang mengharamannya dengan alasan di dalamnya terdapat manfaat tambahan disebabkan transaksi hutang piutang. Sedangkan kaedah mengatakan bahwa semuan transaksi hutang piutang yang menyebabkan adanya manfaat tambahan maka status hukum manfaat tersebut adalah riba.
Pendapat yang benar transaksi ini hukumnya boleh dengan pertimbangan kaedah tentang hukum asal perkara muamalah dan tidak terdapat dalil yang melarangnya.
Transaksi ini juga tidak termasuk dalam kaedah riba di atas. Ingat tidak semua manfaat tambahan dalam transaksi hutang piutang itu terlarang.
Manfaat yang ada dalam transaksi suftajah adalah manfaat bersama antara kedua belah pihak dan pihak yang berhutang pun tidak dirugikan.
Pihak yang berhutang menilai bahwa dirinya mendapat manfaat berupa keamanan. Dia bisa melunasi hutangnya dengan menggunakan uang yang dia miliki di Jakarta, misalnya, tanpa harus memindah uangnya di Jogja ke Jakarta.
Pihak yang menghutangi juga mendapat manfaat berupa keamanan. Jadi kedua belah pihak diuntungkan dalam hal ini.
Syariat tidak pernah melarang hal-hal yang manfaat. Yang dilarang syariat hanya hal-hal yang membahayakan. Dalam transasi suftajah tidak terdapat bahaya bagi pihak yang menghutangi dan pihak yang dihutangi. Sehingga pada asalnya transaksi ini dibolehkan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah.
Beliau mengatakan, “Syariat tidaklah melarang hal-hal yang manfaatnya itu lebih besar asal hanya menimbulkan bahaya yang lebih ringan. Kaedah ini diketahui dari berbagai dalil syariat. Di antaranya adalah suftajah yang diambil oleh pihak yang menghutangi. Suftajah adalah A menghutangi B dan akan menagih B di negeri lain yang berbeda dengan negeri tempat diadakannya transaksi. Misalnya A bertujuan memindahkan uang ke suatu tempat sedangkan B kebetulan punya harta di tempat tersebut dan B perlu uang saat ini di tempat ini.
Akhirnya B berhutang kepada A di tempat ini lalu menulisan transaksi ini di sebuah suftajah –makna asli suftajah adalah kertas-untuk dibawa ke negeri yang dituju oleh A.
Transasi semacam ini dibolehkan menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang ada di antara para ulama. Pendapat yang lain mengatakan bahwa transaksi ini terlarang karena termasuk dalam kaedah hutang piutang yang menghasilkan manfaat tambahan maka manfaat tambahan tersebut adalah riba.
Pendapat yang benar transaksi di atas dibolehkan karena pihak yang menghutangi merasa dapat manfaat yaitu keamanan karena dia bertujuan memindahkan hartanya ke tempat lain. Jadi kedua belah pihak mendapat manfaat” (Majmu Fatawa 29/455-456). [Diolah dari Qawaid al Buyu’ wa Faraid al Furu’ karya Walid bin Rasyid al Saidan hal 12-14]
Sumber: http://ustadzaris.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar