Laman

Selasa, 24 Mei 2016

Mendoakan Kebaikan Untuk Waliyul Amri/ Presiden/ Pemimpin Kaum Muslimin

Para imam Ahli Sunnah semenjak generasi-generasi pertama senantiasa berusaha menjelaskan jalan yang lurus yang ditempuh oleh orang-orang terbaik mereka dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang mengikuti langkah mereka dalam kebaikan.
Di antara pokok yang agung yang mereka jelaskan kepada umat adalah wajibnya mentaati waliyyul amr dan haramnya memberontak kepada mereka, tidak berhenti sampai di sini bahkan mereka melampauinya kepada hal yang lebih khusus lagi, yaitu mendoakan waliyyul amr dengan taufiq, kebaikan, dan kelurusan jalan, inilah sebagian di antara perkataan-perkataan mereka tentang hal itu :
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi (wafat tahun 321 H) berkata :
ولا نرى الخروج على أئمتنا و ولاة أمورنا وإِن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ولا ننزع يدا من طاعتهم ، ونرى طاعتهم من طاعة الله عزوجل فريضة ما لم يأمروا بمعصية، وندعوا لهم بالصلاح والمعافاة
”Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin dan para waliyyul amr kami, meskipun mereka berbuat kecurangan, kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka, kami tidak melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka, kami memandang ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Alloh Azza wa Jalla sebagai suatu kewajiban selama mereka tidak memerintah kepada kemakshiyatan, dan kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan” (Aqidah Thahawiyyah beserta Syarahnya 2/540 ).
Al-Imam Abu Utsman Ash-Shabuni (wafat tahun 449 H ) berkata :
ويرى أصحاب الحديث الجمعة والعيدين و غيرهما من الصلوات ، خلف كل إِمام ، برا كان أو فاجراً ، ويرون جهاد الكفرة معهم ، وإِن كانوا جَوَرة فجرة ، ويرون الدعاء لهم بالإِصلاح والتوفيق والصلاح ، وبسط العدل في الرعية
“Dan Ashabul hadits memandang sholat Jumat, Iedain, dan sholat-sholat yang lainnya di belakang setiap imam yang muslim yang baik maupun yang fajir, mereka memandang hendaknya mendoakan para pemimpin dengan taufiq dan kebaikan, dan menyebarkan keadilah terhadap rakyat” (Aqidah Salaf Ashabil Hadits, hal. 106 ).
Dan ketahuilah Wahai Saudaraku yang mulia, sesungguhnya para imam tersebut tidaklah mencukupkan menggoreskan kalimat-kalimat ini di dalam tulisan-tulisan mereka, bahkan mereka juga menerapkan perkara ini di dalam kehidupan mereka, dan menyampaikannya di hadapan manusia sebagai pengajaran dan arahan kepada mereka, lihatlah sebuah contoh dalam hal itu dari Imam Ahli Sunnah wal Jama’ah Al-Imam Ahmad bin Hanbal yang selalu mendoakan kebaikan kepada penguasa, Abu Bakr Al-Maruudzi berkata : Aku mendengar Abu Abdillah ( Al-Imam Ahmad ) menyebut Khalifah Al-Mutawakkil seraya mengatakan :
إِني لأدعو له بالصلاح والعافية …
”Sesungguhnya aku selalu mendoakan kepadanya dengan kebaikan dan keselamatan … ” (As-Sunnah oleh Al-Khollal hal. 84).
Begitu sangat beliau di dalam menghasung umat untuk mendoakan kebaikan terhadap waliyyul amr, beliau lontarkan ucapan beliau yang masyhur dan menjadi hikmah yang diikuti oleh lisan-lisan manusia, yaitu :
لو أن لي دعوة مستجابة ما جعلتها إِلا في السلطان
”Seandainya aku memiliki do’a yang mustajab maka tidaklah aku jadikan kecuali pada penguasa” (Siyasah Syar’iyyah hal. 218 ).
Maka sepantasnyalah bagi kaum muslimin yang ingin menegakkan kewajiban nasihat, dan menempuh jalan Salaf, sepantasnyalah bagi mereka mengkhususkan kepada waliyyul amar di dalam sebagian dari do’a-do’a kebaikan mereka, duhai seandainya orang-orang yang berkubang di dalam kehormatan para waliyyul amr berhenti dari apa yang mereka lakukan, dan menggantinya dengan do’a kebaikan, seandainya mereka melakukan ini maka sungguh ini adalah baik bagi mereka, ditambah lagi bahwa menyibukkan diri dengan pelanggaran-pelanggaran kehormatan tidaklah memeperbaiki, bahkan akan menyesakkan dada dan memperbanyak dosa, Al-Hafizh Abu Ishaq As-Sabi’i berkata :
ما سب قومٌ أميرهم إِلا حُرموا خيره
Tidaklah suatu kaum mencaci penguasa mereka kecuali diharamkan mereka dari kebaikannya” ( Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr di dalam At-Tamhid 21/287 ).
Dan sepantasnyalah para ulama dan para da’I untuk menjelaskan kedudukan doa’ dari nasihat, menghasung manusia semuanya kepadanya, dan mengkhabarkan kepada mereka bahwa inilah manhaj Salafush Shalih, dan hendaknya para khathib tidak melupakan waliyyul amr di dalam do’a-do’a mereka pada hari Jum’at, Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata :
ويسن أن يدعو – أي الخطيب – للمسلمين بما فيه صلاح دينهم ودنياهم ، ويدعو لإِمام المسلمين وولاة أمورهم بالصلاح والتوفيق وكان الدعاء لولاة الأمور في الخطبة معروفا عند المسلمين ، وعليه عملهم ، لأن الدعاء لولاة أمور المسلمين بالتوفيق والصلاح ، من منهج أهل السنة والجماعة ، وتركه من منهج المبتدعة ، قال الإِمام أحمد : ( لو كان لنا دعوة مستجابة ، لدعونا بها للسلطان ) ولأن في صلاحه صلاح المسلمين .
وقد تركت هذه السنة حتى صار الناس يستغربون الدعاء لولاة الأمور ويسيئون الظن بمن يفعله
”Dan disunnahkan bagi khathib agar mendoakan kebaikan bagi kaum muslimin dengan apa-apa yang membawa kebaikan di dalam agama dan dunia mereka, dan mendoakan para pemimpin kaum muslimin dan waliyyul amr mereka dengan kebaikan dan taufiq. Dan dahulu mendoakan kebaikan kepada para waliyyul amr adalah hal yang dikenal di kalangan kaum muslimin, dan merupakan amalan mereka, karena mendoakan para waliyyul amr dengan taufiq dan kebaikan termasuk manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah, dan meninggalkannya termasuk manhaj Ahli Bid’ah, Al-Imam Ahmad berkata: ” Seandainya aku memiliki do’a yang mustajab maka tidaklah aku jadikan kecuali pada penguasa ” , dan karena di dalam kebaikan penguasa adalah kebaikan kaum muslimin.
Dan sungguh telah ditinggalkan sunnah ini sehingga jadilah manusia menganggap aneh do’a kebaikan terhadap para waliyyul amr dan berburuk sangka kepada orang yang melakukannya” (Al-Mulakhkhosh Al-Fiqhi 1/182).

Faidah mendoakan kebaikan untuk Waliyul Amr

Mendoakan kebaikan terhadap waliyyul amr mengandung faidah-faidah yang bayak sekali, di antaranya :
Pertama: Seorang muslim beribadah dengan do’a ini, karena dia ketika mendengar dan taat kepada waliyyul amr adalah melaksanakan perintah Alloh, karena Allah berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian“ (QS. An-Nisa’ : 59 ).
Maka seorang muslim mendengar dan mentaati waliyyul amr sebagai suatu ibadah, dan termasuk mendengar dan taat kepada waliyyul amr adalah mendoakan mereka, Al-Imam Nashiruddin Ibnul Munayyir Rahimahullah ( wafat tahun 681 H ) berkata:
الدعاء للسلطان الواجب الطاعة ، مشروع بكل حال
”Mendoakan seorang penguasa yang wajib ditaati adalah disyari’atkan dalam semua keadaan ” (Al-Intishaf di dalam Hasyiyah Al-Kaasyif 4/105 – 106).
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata :
الدعاء لولي الأمر من أعظم القربات ومن أفضل الطاعات
”Mendoakan waliyyul amr termasuk qurbah yang paling agung dan termasuk ketaatan yang paling utama ” (Risalah Nashihatul Ummah Fi Jawaabi ‘Asyarati As’ilatin Muhimmah dariMausu’ah Fatawa Lajnah wa Imamain).
Kedua: Mendoakan Waliyyul Amr adalah melepaskan tanggung jawab menjalankan kewajiban, karena do’a termasuk nasihat, dan nasihat wajib atas setiap muslim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
إِني لأدعو له [أي السلطان ] بالتسديد والتوفيق – في الليل والنهار – والتأييد وأرى ذلك واجبا عليَّ
”Sesungguhnya aku mendoakan dia ( yaitu penguasa ) dengan kelurusan dan taufiq – siang dan malam – serta dukungan dari Allah, dan saya memandang hal itu wajib atasku” (As-Sunnah oleh Al-Khollal hal. 116 ).
Ketiga: Mendoakan waliyyul amr adalah satu dari tanda-tanda Ahli Sunnah wal Jama’ah, maka orang yang mendoakan waliyyul amr menyandang salah satu sifat dari sifat-sifat Ahli Sunnah wal Jama’ah, Al-Imam Abu Muhammad Al-Barbahari berkata :
وإِذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى ، وإِذا رأيت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح ، فاعلم أنه صاحب سنة إن شاء الله
”Jika Engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan kepada penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah ahli hawa, dan jika Engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan kepada penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah ahli Sunnah Insya Alloh ” (Syarhus Sunnah hal. 116 ).
Keempat: Sesungguhnya mendoakan waliyyul amr akan kembali manfaatnya kepada para rakyat sendiri, karena jika waliyyul amr baik, maka akan baiklah rakyat dan sejahtera kehidupan mereka, Al-Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Shahihnya dari Qais bin Abi Hazim bahwa seorang wanita bertanya kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq : ” Apakah yang membuat kami tetap di dalam perkara yang baik ini yang didatangkan Alloh setelah Jahiliyyah ?“, Abu Bakar menjawab :
بقاؤكم عليه ما استقامت بكم أئمتكم
Tetapnya kalian di atasnya selama istiqamah para pemimpin kalian terhadap kalian” (Shahih Bukhari 3/51 ).
Fudhail bin ‘Iyadh berkata :
لو كانت لي دعوةٌ مستجابة ما جعلتها إِلا في السلطان
”Seandainya aku memiliki do’a yang mustajab maka tidaklah aku jadikan kecuali pada penguasa “, ketika ditanyakan tentang maksudnya maka Fudhail bin ‘Iyadh berkata :
إذا جعلتُها في نفسي لم تَعْدُني.وإِذا جعلتها في السلطان صَلَح فصَلَح بصلاحه العبادُ والبلاد
”Jika saya jadikan do’a itu pada diriku maka tidak akan melampauiku, sedangkan jika saya jadikan pada penguasa maka dengan kebaikannya akan baiklah para hamba dan negeri ” (Diriwayatkan oleh Al Barbahari di dalam Syarhu Sunnah hal. 116-117 dan Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah 8/91-92 dengan sanad yang shahih).
Kelima: Jika waliyyul amr mendengar bahwa rakyatnya mendoakan kebaikan padanya maka dia akan senang sekali dengan hal itu, yang membuatnya mencintai rakyatnya dan mengupayakan apa saja yang membahagiakan mereka. Ketika Al-Imam Ahmad menulis surat kepada Khalifah Al-Mutawakkil maka sebelum diserahkan kepadanya beliau memusyawarahkannya dengan Ibnu Khaaqan menteri Al-Mutawakkil, Ibnu Khaaqan berkata kepada beliau: ”Seyogyanya surat ini ditambah dengan do’a kebaikan untuk khalifah karena dia senang dengannya“, maka Al-Imam Ahmad menambahnya dengan do’a kebaikan kepada khalifah (As-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal 1/133-134 )

Penutup

Inilah sedikit yang bisa kami paparkan tentang masalah ini. Akhirnya kami memohon kepada Alloh dengan nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang luhur agar selalu memperbaiki para waliyyul amr kaum muslimin,dan mengarahkan mereka kepada al-haq. Dan semoga Alloh selalu memberikan taufiq kepada kita semua dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikuti yang baik darinya. Amin.
والله أعلم بالصواب
***
Penulis: Ust. Arif Fathul Ulum bin  Ahmad Saifullah
Artikel Muslim.or.id

Benarkah Tidak Boleh Menarik Biaya Dalam Pendidikan Islam?

Seorang penanya menyatakan, “minta upah dari murid dan mensyaratkannya dalam mengajar, ini menyelisihi dakwah para Nabi. Allah memerintah Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak minta upah sedikit pun pada kalian atas dakwahku’ (QS. Shad: 86-88). Juga QS. Hud: 29, 109, 127, 145, 164, 180, QS. Asy Syu’ara: 109, 126, 145, 164, 180. Ishaq bin Rahawaih ditanya tentang ahli hadits yang mengajar dan minta upah, beliau menjawab: Jangan tulis hadits dari mereka (Siyar A’lamin Nubala). Termasuk dalam bab ini apa yang dikenal dengan istilah SPP, uang pendaftaran, uang bangunan, dll. yang sejenis dengannya”.
Jawab:
Alhamdulillah, shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Apa yang diutarakan pada pertanyaan ini kurang tepat, dan pendalilannya juga tidak pada tempatnya.

1. Bolehnya meminta upah dari pengajaran Al Qur’an

Ditemukan dalam banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memungut upah dari pengajaran Al Qur’an, di antaranya sahabat Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ أحقَّ ما أخَذْتُمْ عليهِ أجرًا كتابُ اللهِ
Sesungguhnya hal yang paling layak untuk engkau pungut upahnya karenanya ialah Kitabullah” (Muttafaqun ‘alaih).
Hadits ini dengan jelas membolehkan Anda memungut upah karena membacakan Al Qur’an dalam pengobatan atau mengajarkan bacaan atau hafalan Al Qur’an. Padahal anda menyadari bahwa jerih payah yang Anda curahkan untuk itu lebih sedikit dibanding mengajarkan berbagai kandungan ilmu yang tersurat dan tersirat padanya. Baik pengajaran tersebut Anda lakukan secara lisan atau melalui tulisan, format atau non formal.
Hadits berikut juga menguatkan kesimpulan di atas. Sahabat Sahl bin Sa’ad mengisahkan,
أتت النبي صلى الله عليه وسلم امرأة فقالت : إنها قد وهبت نفسها لله ولرسوله صلى الله عليه وسلم ، فقال : ( ما لي في النساء من حاجة ) . فقال رجل : زوجنيها ، قال : ( أعطيها ثوبا ) . قال : لا أجد ، قال : ( أعطها ولو خاتما من حديد ) . فاعتل له ، فقال : ( ما معك من القرآن ) . قال : كذا وكذا ، قال : ( فقد زوجتكها بما معك من القرآن )
“Ada seorang wanita yang datang menjumpai Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu wanita itu berkata: ‘Sesungguhnya aku telah menghibahkan diriku kepada Allah dan Rasul-Nya’. Mendengar ucapan itu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: ‘Aku tidak berhasrat untuk menikahi seorang wanita lagi‘. Spontan ada seorang lelaki berkata: ‘Bila demikian, nikahkanlah aku dengannya’. Menanggapi permintaan sahabatnya itu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Berilah ia mas kawin berupa pakaian‘. Lelaki itu menjawab: ‘Aku tidak memilikinya’. Kembali Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Bila demikian, berilah ia mas kawin walaupun hanya cincin besi (walau sedikit)‘. Kembali sahabat itu pun mengutarakan alasan yang sama. Sehingga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya kepadanya, ‘Surat apa saja yang telah engkau hafal?’. Lelaki itu pun menjawab, ‘Surat ini dan itu’. Akhirnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Aku telah menikahkanmu dengan mas kawin surat-surat Al Qur’an yang telah engkau hafal‘” (Muttafaqun ‘alaih).
Dan pada riwayat Muslim disebutkan, “pergilah sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, maka ajarilah ia (surat-surat) Al Qur’an (yang telah engkau hafal)”.
Pada hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengizinkan sahabat tersebut untuk menjadikan pengajaran Al Qur’an sebagai mas kawin. Ini membuktikan bahwa pengajaran Al Qur’an, bacaannya, menghafalkannya, dan juga kandungan ilmunya memiliki nilai ekonomis. Andai itu semua tidak bernilai ekonomis, niscaya tidak boleh dijadikan sebagai mas kawin. Karena ulama telah sepakat bahwa pernikahan yang tidak dilengkapi dengan mas kawin adalah haram alias tidak sah. Ini tentu cukup sebagai dalil bahwa mengajarkan ilmu-ilmu kandungan Al Qur’an juga memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, tidak mengapa anda memungut upah dari pekerjaan mengajarkan ilmu-ilmu tersebut.
Namun demikian, apa yang saya utarakan di sini belum menjadi kesepakatan para ulama. Perselisihan ulama dalam masalah ini telah masyhur, walaupun pendapat yang saya utarakan ini lebih kuat dari tinjauan dalilnya.
Dan kisah berikut dapat menjadi bukti nyata bahwa sikap Ishaq Ibnu Rahuyah (Rahawaih) ternyata bukan kata sepakat ulama. Dikisahkan bahwa Ibnu Futhais bertanya kepada Muhammad bin Abdullah bin Abdil Hakim (wafat 268H) perihal Ahmad bin Abdurrahman bin Wahb yang tidak sudi membacakan hadits-hadits riwayatnya kecuali bila diberi upah. Mendengar pertanyaan itu, Muhammad bin Abdullah bin Abdil Hakim berkata, “Semoga Allah mengampunimu, apa salahku bila aku tidak sudi membacakan riwayat-riwayatku sebanyak satu halaman kecuali bila kalian membayarku satu dirham? Siapakah yang mengharuskan aku untuk bersabar duduk sesiangan bersama kalian, sehingga aku menelantarkan pekerjaan dan keluargaku?” (Siyar A’lamin Nubala, oleh Adz Dzahabi, 12/322).

2. Pendalilan yang tidak pada tempatnya

Adapun dalil-dalil yang dikemukakan pada pertanyaan, semuanya itu tidak dengan tegas melarang Anda meminta upah dari murid anda atas jasa pengajaran anda. Namun itu mengisahkan kondisi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang tidak memungut upah, sehingga tidak ada alasan bagi orang-orang Quraisy untuk tidak mendengar seruan beliau. Namun itu tidak tepat dijadikan dalil untuk melarang selain beliau dari meminta upah bila perlu.
Walau demikian, bila Anda mampu untuk mengajar dan berdakwah tanpa memungut upah tentu itu lebih baik dan sempurna. Wallahu Ta’ala a’lamu bis shawab.
***
Sumber: Majalah Al Furqon edisi 2 tahun ke 11, Syawal 1432, hal. 6-7
Penulis: Ust. Dr. Muhammad Arifin Baderi
Artikel Muslim.or.id