Seandainya
masyarakat kampung terbiasa untuk memakai sarung, kemeja, baju koko dan
songkok hitam, maka hendaknya kita tidak berusaha untuk tampil beda
dengan memakai jubah, ghamis (baju pakistan), ‘imamah (sorban
yang dililit dikepala) atau syimagh (kerudung yang biasa dipakai oleh
laki-laki arab). Karena menurut para ulama, yang disunnhakan dalam
masalah pakaian adalah hendaknya seseorang menyesuaikan pakaiannya
dengan pakaian penduduk negerinya, selama pakaian mereka (di negerinya)
tidak bertentangan dengan syari’at Islam.
Imam Ibnul Qayyim <rahimahullah> menjelaskan bagaimana pakaian Rosululloh صلی الله عليه وسلم , “Dan cara berpakaian Rosulullah صلی الله عليه وسلم adalah apa yang Allah mudahkan keberadaannya di negeri beliau” (Hadd ats-Tsaub, Syaikh Bakr Abu Zaid)
Imam Ibnu ‘Aqil <rahimahullah> berkata, “Tidak seyogyanya menyelisihi kebiasaan masyarakat, kecuali dalam hal yang haram” (Hadd ats-Tsaub, Syaikh Bakr Abu Zaid)
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani <rahimahullah> menerangkan, “Diantara bentuk pakaian yang sebaiknya ditinggalkan adalah setiap pakaian yang bisa menjadikan pemakainya terkenal di masyarakat; seperti pakaian yang berbeda dengan kebiasaan negeri dan masyarakatnya. Maka hendaklah ia memakai pakaian yang biasa dipakai oleh masyarakatnya.” (Ghidza al-Albab, as-Saffarani)
Imam Muhammad as-Saffarani <rahimahulloh> menegaskan, “Bab: Makruh
hukumnya (bagi seorang muslim untuk) menyelisihi penduduk negerinya
dalam masalah pakaian. Seyogyanya ia memakai pakaian yang biasa dipakai
di negerinya, agar tidak menjadi bahan perhatian, yang kemudian
mengakibatkan penduduk negerinya menggunjing dia, sehingga dia pun ikut
berdosa karena menjadi sebab mereka berbuat ghibah. (Ghidza al-Albab,
as-Saffarani)
Setelah Syaikh al-‘Allamah Muhammad al-‘Utsaimin rahimahulloh
menjelaskan bahwa pakaian yang paling dicintai oleh Rasululloh
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah jubah, beliau menjelaskannya agar seorang muslim tetap menyesuaikan pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai oleh penduduk daerahnya.
Beliau berkata,”Hadits-hadits yang disebutkan oleh an-Nawawi
rahimahulloh di dalam kitabnya Riyadh ash-Shalihin bab adab berpakaian,
diantaranya ada yang menunjukkan bahwa pakaian yang paling dicintai
Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah tsaub (jubah)... Akan
tetapi meskipun demikian, seandainya engkau berada di suatu daerah
yang adat penduduknya memakai baju dan sarung lalu engkau memakai
pakaian serupa maka tidak apa-apa. Yang penting engkau tidak menyelisihi
pakaian masyarakat daerahmu agar engkau tidak terjerumus ke dalam
(larangan memakai pakaian yang mengakibatkan pemakainya) tenar, padahal Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah melarang (muslim untuk memakai) pakaian (yang mengakibatkan dirinya) tenar.
Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahulloh menjelaskan salah satu adab
berpakaian, “Perhatikanlah indahnya penampilan, estetika dalam
berpakaian dan kebiasaan yang ada selama tidak menyelisihi syari’at yang suci.”
Berarti kalau begitu di Indonesia kita sama sekali tidak boleh memakai
gamis atau jubah?? Tidak juga, tergantung daerah tempat kita tinggal.
Ada beberapa daerah di Indonesia yang gamis dan jubah sudah membudaya
disana, kalau demikian keadaannya maka tidak mengapa kita memakai
pakaian tersebut. Namun ada juga beberapa daerah yang jika pakaian
tersebut dikenakan oleh kaum pria akan menjadi hal yang sangat aneh di
mata penduduk daerah itu. Kalau demikian keadaannya maka hendaknya kita
memakai pakaian yang umum dipakai disana, dengan tetap memperhatikan
norma-norma syari’at.
[Disadur dari “14 Hikmah dalam Berdakwah”, oleh Abdulloh Zain, MA. Penerbit Pustaka Muslim.]
Sumber : http://sunnahkami.blogspot.com/2010/12/ahlussunnah-tidak-identik-dengan-jubah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar