Laman

Rabu, 16 November 2011

Ada Apa Dengan Bank Konvensional?

Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Perekonomian adalah salah satu bidang yang diperhatikan oleh syari’at Islam dan diatur dengan undang-undang yang penuh dengan kebaikan dan bersih dari kedhaliman. Oleh karenanya, Allah mengharamkan riba yang menyimpan berbagai dampak negatif bagi umat manusia dan merusak perekonomian bangsa.
Sejarah dan fakta menjadi saksi nyata bahwa suatu perekonomian yang tidak dibangun di atas undang-undang Islam, maka kesudahannya adalah kesusahan dan kerugian. Bila anda ingin bukti sederhana, maka lihatlah kepada bank-bank konvensional yang ada di sekitar kita, bagaimana ia begitu megah bangunannya, tetapi keberkahan tiada terlihat darinya. Sungguh benar firman Allah:
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. (QS. Al-Baqoroh: 276)
Nah, di sinilah pentingnya bagi kita untuk mengetahui masalah Bank konvensional dan sejauh mana kesesuaiannya dengan hukum Islam karena pada zaman sekarang ini, Bank bagi kehidupan manusia hampir sulit dihindari.

DEFENISI BANK DAN SEJARAHNYA

Bank diambil dari bahasa Italia yang artinya meja. Konon penamaan itu disebabkan karena pekerjanya pada zaman dulu melakukan transaksi jual beli mata uang di tempat umum dengan duduk di atas meja. Kemudian modelnya terus berkembang sehingga berubah menjadi Bank yang sekarang banyak kita jumpai.
Bank didefenisikan sebagai suatu tempat untuk menyimpan harta manusia secara aman dan mengembalikan kepada pemiliknya ketika dibutuhkan. Pokok intinya adalah menerima tabungan dan memberikan pinjaman.
Bank yang pertama kali berdiri adalah di Bunduqiyyah, salah satu kota di Negara Italia pada tahun 1157 M. Kemudian terus mengalami perkembangan hingga perkembangan yang pesat sekali adalah pada abad ke-16, di mana pada tahun 1587 berdirilah di Negara Italia sebuah bank bernama Banco Della Pizza Dirialto dan berdiri juga pada tahun 1609 bank Amsterdam Belanda, kemudian berdiri bank-bank lainnya di Eropa. Sekitar tahun1898, Bank masuk ke Negara-negara Arab,  di Mesir berdiri Bank Ahli Mishri dengan modal lima ratus ribu Junaih[1].

PEKERJAAN BANK

Seorang tidak bisa menghukumi sesuatu kecuali setelah mengetahui gambarannya dan pokok permasalahannya. Dari sinilah, penting bagi kita untuk mengetahui hakekat Bank agar kita bisa menimbangnya dengan kaca mata syari’at.
Pekerjaan Bank ada yang boleh dan ada yang haram, hal itu dapat kita gambarkan secara global sebagai berikut:

A. Pekerjaan Bank Yang Boleh

1. Transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan ongkos pengiriman.
2. Menerbitkan kartu ATM untuk memudahkan pemiliknya ketika bepergian tanpa harus memberatkan diri dengan membawa uang di tas atau dompet.
3. Menyewakan lemari besi bagi orang yang ingin menaruh uang di situ.
4. Mempermudah hubungan dengan Negara-negara lain, di mana Bank banyak membantu para pedagang dalam mewakili penerimaan kwitansi pengiriman barang dan menyerahkan uang pembayarannya kepada penjual barang.
Pekerjaan-pekerjaan di atas dengan adanya ongkos pembayaran hukumnya adalah boleh dalam pandangan syari’at.

B. Pekerjaan Bank Yang Tidak Boleh

1. Menerima tabungan dengan imbalan bunga, lalu uang tabungan tersebut akan digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada manusia dengan bunga yang berlipat-lipat dari bunga yang diberikan kepada penabung.
2.  Memberikan pinjaman uang kepada para pedagang dan selainnya dalam tempo waktu tertentu dengan syarat peminjam harus membayar lebih dari hutangnya dengan peresentase.
3.  Membuat surat kuasa bagi para pedagang untuk meminjam kepada Bank tatkala mereka membutuhkan dengan jumlah uang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Tetapi bunga di sini tidak dihitung kecuali setelah menerima pinjaman.[2]

BUNGA BANK ADALAH RIBA

Dengan gambaran di atas, maka nyatalah bagi kita bahwa kebanyakan pekerjaan Bank dibangun di atas riba yang hukumnya haram berdasarkan Al-Qur’an, hadits dan kesepakatan ulama Islam.
1. Dalil Al-Qur’an
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqoroh: 275)
Cukuplah bagi seorang muslim untuk membaca akhir surat Al-Baqoroh ayat 275-281, maka dia akan merinding akan dahsyatnya ancaman Allah kepada pelaku riba. Bacalah dan renungkanlah!!
2. Dalil hadits
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, wakilnya, sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)
3. Dalil Ijma’
  • Para ulama sepanjang zaman telah bersepakat tentang haramnya riba, barangsiapa membolehkannya maka dia kafir[3]. Bahkan, riba juga diharamkan dalam agama-agama sebelum Islam. Imam al-Mawardi berkata: “Allah tidak pernah membolehkan zina dan riba dalam syari’at manapun”.[4]
  • Kalau ada yang berkata:  Kami sepakat dengan anda bahwa riba hukumnya adalah haram, tetapi apakah bunga Bank termasuk riba?! Kami jawab: Wahai saudaraku, janganlah engkau tertipu dengan perubahan nama. Demi Allah, kalau bunga Bank itu tidak dinamakan dengan riba, maka tidak ada riba di dunia ini, karena riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta, inilah keadaan bunga bank konvensional itu.
Kami tidak ingin memperpanjang permasalahan ini. Cukuplah sebagai renungan bagi kita bahwa telah digelar berbagai seminar dan diskusi tentang masalah ini, semunya menegaskan kebulatan bahwa bunga Bank konvensional adalah riba yang diharamkan Allah[5]. Bahkan dalam muktamar pertama tentang perekonomian Islam yang digelar di Mekkah dan dihadiri oleh tiga ratus peserta yang terdiri dari ulama syari’at dan pakar ekonomi internasional, tidak ada satupun di antara mereka yang menyelisihi tentang haramnya bunga Bank.
Sebagai faedah, kami akan menyebutkan beberapa fatwa dan muktamar besar yang menyimpulkan haramnya bunga Bank:
  1. Keputusan muktamar kedua Majma’ Buhuts Islamiyyah di Kairo pada bulan Muharram tahun 1385 H/Bulan Mei tahun 1965 M dan dihadiri oleh para peserta dari tiga puluh Negara.
  2. Keputusan muktamar kedua Majma’ Fiqih Islami di Jeddah pada 10-16 Rabi’ Tsani 1406 H/22-28 Desember 1985 M.
  3. Keputusan Majma’ Robithoh Alam Islami yang diselenggarakan di Mekkah hari sabtu 12 Rojab 1406 H sampai sabtu 19 Rojab 1406 H.
  4. Keputusan muktamar kedua tentang ekonomi Islami di Kuwait pada tahun 1403 H/1983 M.
  5. Keputusan Majma’ Fiqih Islam di India pada bulan Jumadi Ula 1410 H.[6]
  • Setelah menukil ijma’ ulama tentang masalah haramnya bunga bank, DR. Ali bin Ahmad As-Salus mengatakan:
“Dengan demikian, maka masalah bunga bank menjadi masalah haram yang jelas dan bukan lagi perkara yang samar, sehingga tidak ada ruang lagi untukperselisihan dan fatwa-fatwa pribadi”.[7]
Setelah konsensus ini, maka janganlah kita tertipu dengan berbagai syubhat (kerancuan) sebagian kalangan[8] yang berusaha untuk membolehkan riba Bank, apalagi para ulama telah bangkit untuk membedah syubhat-syubhat tersebut.[9]

BEKERJA DI BANK

Bila kita ketahui bahwa Bank adalah tempat riba yang diharamkan dalam Islam, maka bekerja di Bank hukumnya adalah haram, karena hal itu berarti membantu mereka dalam keharaman dan dosa, atau minimalnya adalah berarti dia ridho dengan kemunkaran yang dia lihat. Allah berfirman:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
(QS. Al-Maidah: 2)
Ayat ini merupakan kaidah umum tentang larangan tolong menolong di atas dosa dan kemaksiatan. Oleh karenanya, para ahli fiqih berdalil dengan ayat di atas tentang haramnya jual beli senjata pada saat fitnah, jual beli lilin untuk hari raya Nashoro dan sebagainya, karena semua itu termasuk tolong menolong di atas kebathilan.
Lebih jelas lagi, perhatikan bersamaku hadits berikut:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.
Dari Jabir berkata: Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, wakilnya, sekretarisnya dan saksinya. (HR. Muslim 4177)
  • Imam Nawawi berkata: “Hadits ini jelas menunjukkan haramnya menjadi sekretaris untuk riba dan saksinya. Hadits ini juga menunjukkan haramnya membantu kebathilan”.[10]
Para ulama kita sekarang telah menegaskan tentang tidak bolehnya menjadi pegawai Bank, sekalipun hanya sebagai satpam. Kewajiban baginya adalah menghindari dari laknat Allah dan mencari pekerjaan lain yang halal, sesungguhnya Allah Maha luas rizkiNya.[11]

BOLEHKAH MENYIMPAN UANG DI BANK?

Pada asalnya menyimpan uang di Bank hukumnya tidak boleh karena hal itu termasuk membantu kelancaran perekonomian riba yang jelas hukumnya haram, sebab uang tersebut akan digunakan oleh Bank untuk memberikan pinjaman kepada orang lain dengan riba. Oleh karena itu, maka pada asalnya setiap muslim harus putus hubungan dan thalak tiga dengan Bank. Hanya saja, pada zaman sekarang terkadang seorang tidak bisa menghindari diri dari Bank, sehingga para ulama membolehkannya apabila dalam keadaan dharurat sekali dan tidak ada cara lain untuk menyimpan hartanya.
Dari sini, dapat kita katakan bahwa orang yang menyimpan uang di Bank tidak keluar dari dua keadaan:
Pertama:  Orang yang ingin membungakan dan mengembangkan hartanya dengan jalan riba. Tidak ragu lagi bahwa orang ini telah terjatuh dalam keharaman dan terancam dengan peperangan Allah dan rasulNya. Lantas, siapakah yang menang jika berhadapan dengan Allah dan rasulNya?!
فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ
Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. (QS. Al-Baqoroh: 279)
Kedua:  Orang yang ingin menyimpan hartanya agar aman. Hal ini terbagi menjadi beberapa keadaan:
1. Apabila ada tempat lain atau bank Islam yang bersih dari riba untuk penyimpanan secara aman, maka tidak boleh dia menyimpan  di bank konvensional karena tidak ada kebutuhan mendesak dan ada pengganti lainnya yang boleh.
2. Apabila tidak ada bank Islami yang bersih dari riba atau tempat aman lainnya padahal dia sangat khawatir bila harta tersebut akan dicuri atau lainnya, maka hukumnya adalah boleh karena dharurat. Hal ini berbeda-beda sesuai keadaan manusia. Artinya, tidak semua orang terdesak untuk menyimpan uangnya di Bank. Maka hendaknya seorang bertaqwa dan takut kepada Allah, janganlah dia meremehkan dengan alasan dharurat padahal tidak ada dharurat sama sekali sebagaimana banyak dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin.[12]
MEMANFAATKAN BUNGA BANK

Kalau kita katakan bahwa boleh menabung di Bank dalam kondisi dharurat, maka tentu saja akan muncul pertanyaan: Apa yang kita perbuat dengan bunga (baca: riba) yang diberikan Bank kepada tabungan kita?!
Kami katakan: Ada beberapa kemungkinan apa yang kita lakukan terhadapnya:
1. Mengambilnya dan memanfaatkannya seperti uang pokok.
2. Membiarkannya untuk Bank agar dimanfaatkan sesuka Bank.
3. Mengambilnya lalu merusaknya.
4. Mengambilnya lalu memberikannya kepada fakir miskin atau untuk keperluan umum bagi kemaslahatan kaum muslimin
5. Mengambilnya dan memberikannya kepada orang yang dizhalimi oleh Bank dengan riba.
Pendapat yang paling mendekati kebenaran -menurut kami- adalah pendapat keempat yaitu mengambilnya dan memberikannya kepada fakir miskin atau keperluan umum bukan dengan niat sedekah tetapi untuk membebaskan diri dari uang yang haram. Inilah pendapat yang dipilih oleh para ulama seperti Lajnah Daimah[13], al-Albani[14], Musthofa az-Zarqo dan lain sebagainya[15].

SOLUSI DAN SERUAN
  • Setelah keterangan singkat di atas maka sudah semestinya bagi kaum muslimin, khususnya kepada para pemimpin[16] untuk mengingkari bersama praktek riba yang berkembang di Bank dan berusaha untuk mendirikan Bank-Bank Islam yang bersih dari riba dan sesuai dengan undang-undang syari’at Islam yang mulia, atau memperbaiki bank-bank Islam yang sudah ada karena masih disinyalir oleh banyak kalangan belum bersih dari praktek riba dan belum memadai pelayanannya di semua penjuru kota.
  • Sungguh keji keji ucapan seorang bahwa tidak ada Bank kecuali dengan bunga dan tidak ada kekuatan ekonomi Islam kecuali dengan Bank[17]. Ini adalah kedustaan nyata, sebab sepanjang sejarah Islam berabad-abad lamanya, perekonomian mereka stabil tanpa Bank Riba.
  • Sekali lagi, kami menghimbau kepada para ulama, para pemimpin, para ahli ekonomi, para pedagang besar untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah ini dengan harapan agar Bank-Bank Islam yang bersih dari kotoran riba akan banyak bermunculan di Negeri kita tercinta sehingga kita tidak lagi membutuhkan kepada bank-bank riba. Dan kewajiban bagi setiap muslim untuk bahu-membahu mendukung ide tersebut agar mereka selamat dari jeratan riba yang menyebabkan murka Allah.
disusun oleh:
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi
http://abiubaidah.com

DAFTAR REFERENSI
1. Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh fil Fiqih Al-Islami karya DR. Muhammad Utsman Syubair, cet Dar Nafais, Yordania, cet keenam tahun 1427 H.
2. Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh karya Sa’aduddin Muhammad Al-Kibbi, cet Maktab Islami, Bairut, cet pertama 1423 H.
3. Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrofiyyah Al-Mu’ashiroh karya DR. Abdullah bin Muhammad As-Saidi, cet Dar Thoibah, KSA, cet kedua 1421.
4. Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh karya Muhammad Burhanuddin, cet Darul Qolam, Bairut, cet pertama 1408 H.
5. Fawaidul Bunuk Hiya Riba Al-Harrom karya DR. Yusuf al-Qorodhawi, cet Muassasah Ar-Risalah, Bairut, cet kedua tahun 1423 H.
6. Dan lain-lain.
[1] Al-Mashorif wa Buyutu Tamwil Islamiyyah karya Ghorib al-Jamaal hlm. 23, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh karya DR. Muhammad Utsman Syubair hlm. 252-253, Ar-Riba wal Mu’amalat Al-Mashrofiyyah karya Umar Al-Mutrik hlm. 309.
[2] Al-Bunuk Al-Islamiyyah Baina Nadhoriyyah wa Tathbiq hlm. 37-39 karya DR. Abdullah bin Ahmad ath-Thoyyar, Al-Mu’amalat Al-Maaliyah Al-Mu’ashiroh hlm. 253-254 karya Sa’aduddin Muhammad Al-Kibbi, Al-Jami’ fi Fiqhi Nawazil 1/92 karya Shalih bin Abdillah al-Humaid.
[3] Lihat Al-Ifshoh Ibnu Hubairah 1/326, Syarh Muslim an-Nawawi 4/93-94, Az-Zawajir Al-Haitsami 1/222, Al-Muqoddimat wal Mumahhidat Ibnu Rusyd 2/503.
[4] Al-Hawii Al-Kabir 5/74.
[5] Lihat kitab Syaikh DR. Yusuf Al-Qorodhowi yang berjudul “Fawaidul Bunuk Hiya Riba Al-Harom” (Bunga Bank Adalah Riba Yang Haram), cet kedua 1421 H, Muassasah Ar-Risalah, Bairut.
[6] Lihat teks-teks keputusan tersebut dalam Fawaid Bunuk Hiya Riba Muharrom hlm. 106-122 karya Yusuf Al-Qorodhowi
dan Fiqih Nawazil oleh al-Jizani 3/136-145.
[7] Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh fi Dhoui Syari’ah Islamiyah hlm. 36, dinukil juga oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam risalah Ar-Riba hlm.31-32.
[8] Lihat kitab Al-Ashroniyyun hlm. 259-261 oleh Muhammad Hamid an-Nashir dan Manhaj Tasir Al-Mu’ashir hlm. 152-161 oleh Abdullah bin Ibrahim ath-Thowil.
[9] Lihat bantahan syubhat-syubhat masalah ini dalam Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrofiyyah Al-Mu’ashiroh karya DR. Abdullah bin Muhammad as-Saidi dan Taudhiful Amwal Bainal Masyru’ wal Mamnu’ oleh DR. Abdullah bin Muhammad ath-Thoyyar hlm. 64-75.
[10] Syarh Shohih Muslim 11/26.
[11] Lihat Fatawa Ulama Baladil Haram hlm. 1187-1193 kumpulan DR. Khalid al-Juraisi, Fatawa Al-Ahum wal Bunuk hlm. 53 kumpulan Abdurrahman asy-Syitri, Fatawa Lajnah Daimah 13/344 kumpulan Ahmad ad-Duwaisy.
[12] Lihat Ar-Riba fil Mu’amalat Al-Mashrofiyyah Al-Mu’ashiroh 2/923-959 oleh DR. Abdullah bin Muhammad as-Sa’idi, Al-Mu’amalat Al-Maliyah Al-Mu’ashiroh hlm. 267 oleh Sa’aduddin Muhammad al-Kibbi, Qodhoya Fiqhiyyah Muashiroh hlm. 16-18 oleh Muhammad Burhanuddin, Mu’amalat Bunuk Al-Haditsah hlm. 49 oleh DR. Ali As-Salus, Fatawa Lajnah Daimah 13/346-351.
[13] Lajnah Daimah adalah lembaga fatwa di Saudi Arabia, diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota: Abdullah al-Ghudayyan, Shalih al-Fauzan, Abdul Aziz Alu Syaikh, Bakr Abu Zaid. (Lihat Fatawa Lajnah Daimah 13/354).
[14] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani pernah menulis  surat kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz berisi pembahasan tentang uang riba yang disimpan di bank-bank. Beliau berkesimpulan bahwa uang-uang tersebut boleh untuk digunakan dalam kebaikan-kebaikan selain makan, minum dan pakaian. Dan digunakan dalam hal-hal yang akan habis seperti bensin, kayu baker, memperbaiki WC dan jalan umum serta mencetak kitab…Syaikh Ibnu Baz akhirnya menulis jawaban yang berisi bahwa beliau setuju dengan pendapatnya. (Al-Imam Al-Albani Durusun wa ‘Ibar hlm. 258 karya Syaikh DR. Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan).
[15] Lihat Qodhoya Fiqhiyyah Mu’ashiroh hlm. 26-27 oleh Muhammad Burhanuddin, Al-Muamalat Al-Maliyah Al-Mua’shiroh hlm. 276-286 karya Sa’aduddin Muhammad al-Kibbi).
[16] Alangkah bagusnya ucapan Imam Al-Mawardi: “Adapun muamalat yang munkar seperti zina dan transaksi jual beli haram yang dilarang syari’at sekalipun kedua belah pihak saling setuju, apabila hal itu telah disepakati keharamannya, maka kewajiban bagi pemimpin untuk mengingkari dan melarangnya serta menghardiknya dengan hukuman yang sesuai dengan keadaan dan pelanggaran”. (Al-Ahkam As-Sulthoniyyah hlm. 406).
[17] Ini adalah ucapan penasehat ekonomi, Ibrahim bin Abdillah an-Nashir dalam kitabnya Mauqif Syari’ah Islamiyyah Minal Mashorif hlm. 1. Kitab ini telah diingkari secara keras oleh Majma’ Fiqih Islam dalam Muktamar di Mekkah hari Sabtu Shofar 1408 H, dan dibantah oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majalah Robithoh bulan Syawal 1407 H dan Syaikh Muhammad Rosyid al-Ghufaili dalam kitab Nutaful Ma’arif fir Roddi ‘ala Man Ajaza Riba Al-Mashorif, cet Darul Wathon.

http://abiubaidah.com

PERTUMBUHAN BANK SYARIAH

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi


Semarak penggunaan kata syariat di kalangan muslimin dewasa ini pantas untuk disyukuri karena secara tidak langsung, berarti menunjukkan keseriusan dan semangat kaum muslimin untuk kembali merujuk kepada agamanya. Namun demikian, perlu untuk diperhatikan dan disadari, jangan sampai semangat ini hanya sekedar mengusung nama dan jorgan semata. Oleh karena itu, maka perlu adanya upaya meluruskan istilah dan nama syariat, agar benar-benar sesuai dengan syariat Islam.

Salah satu di antara nama dan istilah ini, yaitu dalam masalah perbankan syariah atau bank syariat, yang didefinisikan dengan insitusi atau lembaga yang melakukan aktivitas langsung perbankan berdasarkan Islam dan kaidah-kaidah fikihnya[1]. Institusi ini mulai merata dan menampakkan jati dirinya di tengah banyaknya bank konvensional.

REALITA PAHIT PRAKTEK RIBAWI
Dalam syariat Islam bahwa riba adalah sesuatu yang diharamkan. Ironisnya, jaringan ribawi ini telah menyebar dalam kehidupan kaum muslimin dan masyarakat secara umum seperti pembuluh darah dalam tubuh manusia, sehingga merusak tatanan masyarakat dan merusak keindahan Islam. Bahkan yang lebih ironis lagi, ada di antara kaum muslimin yang berkeyakinan dan memandang praktek ribawi merupakan satu-satunya cara menumbuhkan perekonomian negara dan masyarakatnya. Demikianlah pengaruh buruk penjajahan yang telah menanamkan ke tubuh negara jajahannya muamalah ribawi ini, sebab sistem ini masuk ke dalam negara-negara kaum muslimin melalui tangan dan jerih payah mereka. Sehingga, kaum muslimin pun akhirnya mengambil sistem ini dari negara kafir yang menjajahnya. Maka hendaklah kita menyadari, bahwa negara-negara kafir tidak pernah peduli dengan pertumbuhan keagamaan, dan mereka memisah agama dari kehidupan ekonomi. Mereka tidak memiliki timbangan akhlak. Bahkan yang kuat dan memiliki kapital besarlah yang akan berkuasa walaupun mereka mendapatkannya dengan bantuan orang-orang fakir dan miskin.

Ini berbeda dengan Islam yang menginginkan suatu sistem ekonomi yang adil, sehingga yang kuat tidak menindas yang lemah, dan yang kaya menjajah yang miskin. Juga agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Sehingga Islam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" [al-Baqarah/2 : 275]

Syariat Islam memiliki sistem ekonomi bebas dari riba. Dalam meningkatkan perekonomian, pemberdayaan masyarakat dan kemanusiaan tidak memiliki ketergantungan kepadanya. Kita yakini dengan pasti sistem ekonomi Islam yang bebas dari riba ini, baik dalam bidang perbankan maupun bidang lainnya. Karenanya, menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mempelajari tatanan sistem yang tidak bertentangan dan menyimpang dari syariat Islam yang sempurna nan suci ini.

Banyak orang yang kemudian sadar dengan praktek ribawi yang pahit ini. Krisis dan keguncangan ekonomi dunia tidak dapat dielakkan, sehingga masyarakat dunia kembali berfikir mencari solusi tentang hal ini.

Beberapa penelitian membuktikan, bahwa seseorang yang berhutang dengan bunga riba, ia akan sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk melunasi hutang dan bunganya tersebut. Dan pada kenyataannya, banyak yang tidak mampu melunasinya secara baik. Akhirnya memaksanya untuk melepas atau menjual harta miliknya yang menjadi agunan (jaminan) peminjaman hutang tersebut. Ini dilakukan untuk menjaga kemaslahatan (peningkatan) produksi. Disamping itu, pengaruh bunga hutang tersebut telah meninggikan biaya produksi yang berlanjut pada kenaikan harga. Sebab, perusahaan yang mengambil hutang ribawi akan memasukkan nilai bunga hutang itu yang telah membuat naik biaya produksinya, sehingga secara otomatis juga akan menaikkan harga produknya menjadi lebih tinggi.[2]

Terbukti, krisis-krisis yang menimpa perekonomian dunia umumnya muncul lantaran hutang-hutang perusahaan-perusahaan yang menumpuk. Ini diketahui negara-negara besar, sehingga mereka terpaksa mengambil langkah pembatasan prosentase ribanya. Namun hal ini belum bisa mengurangi bahaya riba[3]

KEMUNCULAN PERBANKAN SYARI’AT
Krisis demi krisis melanda perekonomian dunia hingga banyak bank-bank konvensional yang gulung tikar. Di negara Indonesia saja dalam tahun 2001 M –versi buku Bank Syariat dari Teori ke Praktek- telah ada 63 bank yang sudah tutup, 14 bank telah di take over, dan 9 bank lagi harus direkapitulasi dengan biaya ratusan trilyun rupiah. Ditambah lagi dengan harapan kaum muslimin yang ingin kembali menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupannya khususnya dalam masalah ekonomi dan perbankan, dan munculnya kebangkitan Islam di era tahun tujuh puluhan. Semua ini mendorong tekad para peneliti untuk menerapkan sistem ekonomi Islam (Islamic Economic System) dengan mengkonsep perbankan syariat sebagai alternatif pengganti perbankan konvensional. Namun waktu itu keadaan dan situasi yang menyelimuti negara-negara Islam belum mendukung harapan, pemikiran dan tekad tersebut.

Kemudian mulailah adanya usaha-usaha riil untuk menerapkannya dan mencari trik dan cara yang beragam untuk mengeluarkan profit keuntungan dan sejenisnya dari lingkaran riba. Kemudian setelah itu muncul di dunia Islam usaha-usaha yang lebih riil, yaitu berupa penolakan terhadap pemikiran yang diimport dari barat saat penjajahan dulu. Usaha-usaha ini mengarah kepada pengganti perbankan ribawi dengan perbankan syariat. Usaha ini kian berkembang cepat dengan banyaknya kaum muslimin yang enggan menyimpan hartanya di bank-bank konvensional dan enggan bermuamalah dengan riba.

Dr. Gharib al-Gamal menjelaskan seputar kemunculan perbankan syariat. Dia mengatakan, banyak dari masyarakat Islam yang enggan bermuamalah dengan riba. Mereka tidak bermuamalah dengan lembaga perbankan yang ada sekarang ini. Dengan dasar ini, maka harta-harta milik masyarakat muslim di dunia Islam yang cukup besar ini akan menganggur (tidak dapat dikembangkan). Oleh karenanya, termasuk faktor yang mendorong untuk membangun lembaga perbankan syariat adalah merealisasikan solusi bagi masyarakat ini. Semua itu sebagai usaha untuk memberikan faedah dari harta-harta yang dimiliki masyarakat demi kemaslahatan dunia Islam seluruhnya. Ditambah lagi, untuk pencerahan kepada para penguasa (pemerintah) masyarakat tersebut agar berlapang dada membangun sistem yang menjamin terwujudnya pertumbuhan masyarakat di negara-negara Islam dengan cara (uslub) syariat.[4]

Banyaknya kaum muslimin yang enggan bermuamalah riba dan menyimpan hartanya di bank-bank konvensional -yang nota bene menerapkan sistem riba- akan menyebabkan banyaknya harta kaum muslimin yang membutuhkan lembaga atau institusi yang memudahkan untuk mengelolanya. Tidak dapat dipungkiri, harta yang sedemikian besar nominalnya tersebut membutuhkan satu institusi yang dapat menyimpan dan mengelolanya sesuai syariat. Hal ini mendorong pembentukan lembaga keuangan syariat sebagai sebuah solusi permasalahan ini.

Dari usaha-usaha untuk meninggalkan praktek ribawi tersebut, sehingga berdirilah berbagai lembaga keuangan (perbankan) yang mengklaim dirinya berasaskan syariat. Di antara lembaga perbankan bebas riba yang menjadi pelopor pembentukan bank syari’at ini adalah:

1. Mit Ghamr Bank, merupakan lembaga keuangan yang beroperasi sebagai rural-sosial bank (Bunuk al-Id-dikhâr) di Mesir pada tahun 1963 M. Namun bank ini masih berskala kecil.
2. Bank Nâshir al-Ijtima’i, berdiri di Mesir tahun 1971 M.
3. Al-Bank al-Islami lit-Tanmiyah, berdiri di Kerajaan Saudi Arabia tahun 1973 M.
4. Bank Dubai al-Islami (Dubai Islamic Bank), berdiri di Uni Emirat Arab tahun 1975 M.
5. Bank Faishal al-Islami (Faishal Islamic Bank), berdiri di Sudan tahun 1977 M.
6. Bait at-Tamwîl al-Kuwaiti (Kuwait Finance House), berdiri di Kuwait tahun 1977 M.
7. Bank Faishal al-Islami al-Mishri (Faisal Islamic Bank) di Mesir, tahun 1977 M.
8. Al-Bank al-Islami al-Urduni lit-Tamwîl wa al-Istitsmâr (Jordan Islamic Bank for Finance and Investment), berdiri di Yordania tahun 1978 M

Setelah itu bermunculan banyak bank syariat, sehingga menurut analisa Prof. Khursyid Ahmad dan laporan International Association of Islamic Bank, bahwa pada akhir tahun 1999 M tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia. Fenomena ini patut mendapat perhatian, partisipasi dan dukungan semua pihak, agar laju perkembangan dan arahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam, dan dapat menjadi pengganti yang benar dan tepat dari lembaga keuangan ribawi dan konvensional.

Dewasa ini, lembaga-lembaga keuangan syariat ini terus berkembang dan bertambah banyak bertebaran di pelosok-pelosok daerah dengan produk-produknya yang klaim sebagai lembaga keuangan syariat. Oleh sebab itu, kita perlu melihat kembali hal ini secara kritis, dan semua lembaga keuangan itu kembali menilai produk-produk dan usahanya dengan pandangan syariat yang mulia ini.

Wabillahit-Taufiq.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat definisi ini dalam kitab al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Thath-biq, Abdullah ath-Thayâr, hlm. 88.
[2]. Lihat al-Mu’amalah al-Mashrafiyah al-Mu’asharah wa Ra’yu al-Islam fihâ, Dr. Muhammad 'Abdullah al-‘Arabi, hlm 13. Dinukil dari ar-Ribâ wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah, Dr. Umar 'Abdul-'Aziz al-Mutrik, hlm. 171.
[3]. Ar-Ribâ wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah, hlm. 171.
[4]. Al-Masharif wa al-A’maal al-Mashrafiyah, Dr. Gharib al-Gamal, hlm. 391.
[5]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyat wa at-Thath-biq, hlm. 89.
[6]. Lihat buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek, Muhammad Antonio Syafi’i, hlm. 18.

http://almanhaj.or.id

Ummu Sulaim “Pemilik Mahar Termulia”

Oleh: Ustadzah Gustini Ramadhani

{ al-Mawaddah Edisi 04  Tahun 2 }
Rosululloh bersabda:
Ketika aku memasuki surga, aku mendengar suara langkah kaki, lalu aku bertanya: “Siapa itu?” Malaikat menjawab: “Itu Ghumaisho’ binti Milhan, ibunda Anas bin Malik.” (HR. Muslim: 4494)
Nama aslinya adalah Ghumaisho’ dan juga dipanggil dengan Rumaisho’ binti Milhan dari kaum Anshor, atau yang lebih dikenal dengan kunyahnya yaitu Ummu Sulaim . Ia adalah sosok wanita yang selalu dekat dengan Rosululloh.
Sungguh besar sekali rasa ghibthoh(1) Ghumaisho’ binti Milhan saat melihat orang-orang menyambut kedatangan Rosululloh yang hijrah dari Makkah tiba di Madinah. Mereka menemui beliau dengan membawa hadiah sebagai ucapan selamat datang. Ia berpikir apa yang akan ia hadiahkan kepada Rosululloh, sedangkan ia tidak memiliki harta yang dapat dihadiahkan, sebab ia hanya seorang janda miskin yang ditinggal mati suaminya. Suaminya hanya meninggalkan untuknya seorang putra, … sampai di sini pikiran Ghumaisho’ tersentak, sadar bahwa ternyata ia memiliki sesuatu yang sangat berharga. Ya, …seorang putra! Ia berpikir mengapa tidak ia hadiahkan saja putranya, Anas, yang sedari kecil telah Rosululloh talqinkan dua kalimat syahadat kepadanya, sehingga membuat suaminya, Malik bin Nadhor, yang musyrik menjadi marah dan menghardiknya (seraya berkata): “Jangan engkau hancurkan kehidupan anakku!” Ummu Sulaim membantah: “ Justru sebaliknya, saya menyelamatkannya.”
____________________________________________________________
 (1)“ Ghibthoh adalah perasaan iri terhadap orang lain dalam berbuat kebaikan dan amal sholih. Iri seperti ini dibolehkan dalam agama. (lihat Shohih Bukhori hadits no. 73 dalam Kitabul Ilmi).
Semenjak itulah suaminya pergi meninggalkannya sampai ia meninggal di negeri Syam.
Dengan menggandeng Anas kecil, Ummu Sulaim menuju kediaman Rosululloh. Tatkala bertemu dengan Rosululloh, Ummu Sulaim mengucapkan salam dan ucapan selamat datang, lalu ia berkata: “Wahai Rosululloh, semua orang Anshor, laki-laki dan perempuan telah memberimu hadiah, sedangkan aku tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk kuhadiahkan kepadamu selain putraku ini. Ambillah ia menjadi pelayanmu.” Rosululloh memandang Anas dengan kasih sayang dan dengan lembut sembari mengelus rambutnya. Beliau menerima Anas yang baru berumur sepuluh tahun itu dengan gembira.
Sebagai janda yang cantik, cerdas dan baik akhlaknya, tidak heran bila Ummu Sulaim menjadi janda kembang yang menjadi incaran para lelaki. Abu Tholhah (Zaid bin Sahal) ketika mendengar bahwa Ummu Sulaim telah menjadi janda, ia langsung mendatanginya untuk melamarnya menjadi istri. Ia khawatir ada orang lain yang mendahuluinya. Namun, impiannya untuk menjadikannya sebagai istri melayang terbawa angan-angan. Ia yakin Ummu Sulaim tak akan menolaknya karena ia adalah seorang bangsawan yang kaya raya, di samping itu ia juga seorang ksatria mumpuni dan ahli memanah. Dengan tekad yang bulat, Abu Tholhah menemui Ummu Sulaim di rumahnya, lalu dengan sopan ia meminta izin masuk. Di rumah itu ia disambut oleh Ummu Sulaim dan putranya, Anas. Tidak lama setelah itu, ia langsung mengajukan lamaran, lantas Ummu Sulaim pun menjawab: “Orang sepertimu tak mungkin ditolak, hanya saja saya tidak boleh menikah dengan orang kafir.”
Abu Tholhah mengira bahwa Ummu Sulaim hanya mencari alasan saja dan telah ada lelaki lain yang lebih kaya atau lebih terhormat darinya yang lebih dahulu melamarnya. Lalu ia berkata kepadanya: “Apa alasanmu tidak menerima pinanganku? Apa kamu ingin emas dan perak?” Ummu Sulaim bertanya keheranan: “Emas dan perak?” Abu Tholhah menjawab: “Benar.” Ummu Sulaim berkata: “Sama sekali bukan karena itu. Demi Alloh, jika engkau mau masuk Islam maka aku rela menjadi istrimu, dan ke-Islamanmu menjadi mahar bagiku, bukan emas dan perak.”
Ketika mendengar ucapan Ummu Sulaim, seketika itu Abu Tholhah teringat berhalanya yang terbuat dari kayu yang biasa ia sembah di rumah. Ummu Sulaim tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, lantas ia berkata: “Wahai Abu Tholhah, apakah engkau tidak tahu bahwa Ilah (sesembahan) yang engkau sembah selain Alloh itu hanyalah sekedar kayu yang tumbuh dari bumi?” Ia menjawab: “Benar.” Ummu Sulaim melanjutkan: “Apakah engkau tidak merasa malu menyembah sebatang kayu yang engkau jadikan sebagai Ilah (sesembahan), sedang orang lain menjadikannya sebagai kayu bakar untuk menghangatkan badan atau memasak roti. Wahai Abu Tholhah, jika engkau masuk Islam, aku akan rela menjadi istrimu dan aku tidak menginginkan mahar selainnya.” Abu Tholhah terdiam sejenak, lalu berkata: “Bagaimana caranya?” Ia menjawab: “Dengan mengucapkan: Asyhadu Allaa Ilaaha Illalloh wa Anna Muhammadan Rosululloh.” Dengan dua kalimat syahadat itulah, akhirnya Abu Tholhah menikahi Ummu Sulaim, yang mana tak ada mahar yang paling mulia dari mahar Ummu Sulaim.
Rumah Ummu Sulaim adalah satu-satunya tempat yang dimasuki Rosululloh selain rumah istri-istri beliau. Pernah ditanyakan kepada Rosululloh mengapa beliau sering berkunjung ke rumah Ummu Sulaim, maka beliau menjawab: “Aku kasihan kepadanya karena saudaranya(2) terbunuh bersamaku.” Suatu kali, ketika ia datang berkunjung, beliau melihat putra Abu Tholhah yang bergelar Abu Umair sedang bersedih. Lantas beliau bertanya kepada Ummu Sulaim: “Mengapa Abu Umair bermuka masam?” Ummu Sulaim menjawab: “Karena burungnya yang bernama Nughoir mati.” Kemudian Rosululloh menemuinya dan berkata: “Wahai Abu Umair, apa yang terjadi pada Nughoir?”(3)
_________________________________
  (2). Yaitu Harom bin Milhan yang terbunuh di sumur Ma’unah.
(3)  Dalam pertanyaan Rosululloh kepada Abu Umair ini terdapat penjelasan bagi kita tentang bagaimana sifat kasih sayang Rosululloh. Beliau sebagai manusia yang paling mulia juga bercengkrama dengan anak-anak. Lalu bagaimana dengan kita?
Setelah kejadian itu, Abu Umair jatuh sakit. Ketika Abu Tholhah tidak di rumah, anak kesayangannya itu meninggal. Kemudian Ummu Sulaim memandikan dan mengafaninya, lalu menutupinya dengan kain. Kemudian berkata kepada keluarganya: “Jangan kalian beritahukan kepada Abu Tholhah, biarlah aku sendiri yang mengabarinya.”
Ketika Abu Tholhah datang, Ummu Sulaim memakai wewangian dan berhias, lalu menghidangkan makan malam. Setelah makan, Abu Tholhah bertanya kepada Ummu Sulaim: “Bagaimana keadaan Abu Umair?” Ia menjawab: “Ia telah tenang sekarang.” Setelah itu, Abu Tholhah menggauli istrinya.
Setelah selesai, Ummu Sulaim berkata: “Wahai Abu Tholhah, bagaimana pendapatmu bila satu keluarga dipinjami sebuah titipan, lalu pemiliknya memintanya kembali, apakah mereka harus mengembalikannya atau mempertahankan?” Abu Tholhah menjawab: “Mereka harus mengembalikannya.” Ummu Sulaim berkata: “Abu Umair telah meninggal, maka bersabarlah.”
Dengan marah Abu Tholhah menghadap Rosululloh dan menceritakan semua kejadian itu. Lalu Rosululloh berkata: “Semoga Alloh memberkahi malam kalian.” Setelah itu Ummu Sulaim hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Kemudian Anas membawanya kepada Rosululloh, lalu Rosululloh mentahniknya dengan kurma, dan dengan lahapnya bayi itu mengulum kurma yang dimasukkan ke mulutnya. Rosululloh berkata: “Perhatikanlah, bagaimana sukanya kaum Anshor terhadap kurma.”
Beliau kemudian menamainya Abdulloh, dan tidak ada generasi Anshor yang lebih bagus darinya. Diriwayatkan bahwa Abdulloh bin Tholhah mempunyai tujuh orang anak laki-laki yang semuanya hafal al-Quran.
Dalam hal keberanian, Ummu Sulaim juga memiliki peran yang sangat mengagumkan. Ketika terjadi Perang Hunain, ia keluar membawa sebilah belati. Lalu Abu Tholhah mengadukan hal itu kepada Rosululloh: “Wahai Rosululloh, Ummu Sulaim membawa belati.” Mendengar itu, Ummu Sulaim langsung berdalih: “Wahai Rosululloh, aku membawanya bila ada orang musyrik yang mendekatiku, maka aku akan membelek isi perutnya.”
Semoga Alloh meridhoi Ummu Sulaim, Ghumaisho’ binti Milhan .
Referensi:
1. Siyaru A’laamin Nubalaa
2. Al-ishobah fi Ma’rifat Ash-haab
3. Sifatus Shofwah
4. Suwarun min Hayaat ash-Shohaabah

Maaf klo ada teman yg pengen di tag, tapi gak cukup.. Silahkan klik "Bagikan" ke Dinding masing".

http://almawaddah.wordpress.com

Garis Sunnah

Oleh : Ustadz Abu Abdirrohman

( al-Mawaddah Edisi 11 Tahun 1 )
Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: Nabi  sholat Isya’ kemudian pergi dan menggandeng tangan Abdulloh bin Mas’ud a hingga keluar bersama beliau menuju lembah padang pasir berkerikil di Makkah lalu beliau mendudukkannya kemudian beliau menggariskan untuknya sebuah garis kemudian bersabda:
لاَ تَبْرَحَنَّ خَطَّكَ فَإِنَّهُ سَيَنْتَهِى إِلَيْكَ رِجَالٌ فَلاَ تُكَلِّمْهُمْ فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَلِّمُونَكَ

(“Janganlah engkau meninggalkan garismu karena sesungguhnya akan berhenti di hadapanmu beberapa orang, janganlah engkau berbicara dengan mereka karena mereka tidak akan berbicara kepadamu.”)
Lalu Rosululloh pergi sesuai dengan keinginan beliau, hingga ketika aku dalam keadaan duduk dalam garisku tiba-tiba datang kepadaku beberapa orang, sepertinya mereka adalah orang Zuth(1), rambut dan jasad mereka, aku tidak melihat aurat dan baju mereka, mereka berhenti di hadapanku, tidak melewati garis itu, lalu mereka kembali menuju ke arah Rosululloh hingga ketika telah sampai akhir malam, (mereka tidak datang) namun Rosululloh yang datang kepadaku dalam keadaan aku sedang duduk, lalu beliau bersabda:
لَقَدْ أَرَانِي مُنْذُ اللَّيْلَةَ
Artinya : (“Aku tidak tidur sejak tadi malam.”)
Lalu beliau masuk ke dalam garisku dan berbantalkan pahaku kemudian beliau tidur, dan Rosululloh apabila tidur beliau mendengkur. Ketika aku dalam keadaan duduk dan Rosululloh berbantalkan pahaku, tiba-tiba aku mendapati beberapa orang memakai baju putih, Alloh lebih tahu betapa bagusnya mereka, mereka berhenti di hadapanku lalu sebagian mereka duduk di sisi kepala Rosululloh dan sebagian yang lain di sisi kaki beliau, kemudian mereka berkata: “Kita tidak pernah sama sekali melihat seorang hamba yang diberi seperti apa yang telah diberikan kepada Nabi ini, sesungguhnya kedua matanya tidur namun hatinya terjaga, berikanlah sebuah perumpamaan untuknya dengan seorang tuan yang membangun sebuah istana, lalu ia menyiapkan sebuah hidangan kemudian mengundang orang-orang untuk makanan dan minumannya, maka barang siapa yang menghadiri undangannya dia akan memakan makanannya dan meminum minumannya, dan barang siapa yang tidak mau menghadiri undangannya, niscaya ia akan membalasnya atau ia akan menyiksanya.” Kemudian mereka berlalu, dan Rosululloh terbangun pada saat itu kemudian beliau bersabda:
سَمِعْتَ مَا قَالَ هَؤُلاَءِ وَهَلْ تَدْرِى مَنْ هَؤُلاَءِ .
(“Apakah engkau mendengar apa yang mereka katakan? Dan apakah engkau tahu siapakah mereka?”)

_________________________________
(1)“Az-Zuth” sebagaimana dalam Lisanul ‘Arob al-Qomus adalah sebuah generasi di India yang diarabkan dari kata Jatta, dan dalam an-Nihayah “az-Zuth” adalah salah satu jenis dari bangsa Sudan dan India.
Saya menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda:
هُمُ الْمَلاَئِكَةُ أَفَتَدْرِى مَا الْمَثَلُ الَّذِى ضَرَبُوا؟
(“Mereka adalah para malaikat, dan tahukah engkau apakah perumpamaan yang mereka buat?”)
Saya menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda:
الْمَثَلُ الَّذِى ضَرَبُوا الرَّحْمَنُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بَنَى الْجَنَّةَ وَدَعَا إِلَيْهَا عِبَادَهُ فَمَنْ أَجَابَهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُجِبْهُ عَاقَبَهُ أَوْ عَذَّبَهُ

(“Perumpamaan yang mereka buat adalah: Ar-Rohman (Alloh) membangun surga lalu menyeru para hamba-Nya kepadanya, maka barang siapa yang memenuhi seruan itu niscaya ia masuk surga dan barang siapa yang tidak memenuhi seruan-Nya niscaya Alloh akan menghukum atau mengadzabnya.”)
Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi: 5/145/2861, al-Bazzar: 5/271/1886, dan dishohihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shohih Sunan at-Tirmidzi: 2296.

******
Subhanalloh, ini adalah sebuah hadits yang mengandung kisah yang menakjubkan dan terdapat pelajaran yang amat berharga bagi umat Rosululloh . Ini bukanlah kisah fiktif atau dongeng dan khayalan semata yang dibuat oleh manusia melainkan kisah nyata dari zaman keemasan yang dihiasi dengan mutiara hikmah dan teladan yang agung dari generasi sahabat Rosululloh .
Kita bisa melihat ketika Ibnu Mas’ud memberikan ketaatan total kepada Rosululloh tatkala beliau n memerintahnya untuk tetap berada dalam tempat yang Rosululloh tetapkan baginya telah memberikan perlindungan dari keburukan kaum yang datang dalam bentuk yang sangat menakutkan, padahal antara dia dengan mereka tidak lebih dari sekadar sebuah garis yang seandainya angin menerpanya tentu akan menghapuskan bekasnya, namun garis itu bukanlah hanya sekadar sebuah garis biasa, namun ia adalah garis sunnah, barang siapa yang berpegang dengannya niscaya Alloh akan memberikan perlindungan dari apa yang akan menimpa dirinya, Ibnu Mas’ud tidak bertanya mengapa dan untuk apa ia diperintahkan demikian, duduk sepanjang malam, tidak berpindah dan melewati garis di tempat tersebut namun yang ia lakukan adalah sami’na wa atho’na (kami mendengar dan kami taat).
Ibnu Mas’ud  tidaklah sendirian dalam ketaatan seperti ini. Bahkan sepeninggal Rosululloh , Abu Bakar ash-Shiddiq misalnya, dengan ketaatan dan ittiba’nya kepada Rosululloh telah membuahkan pertolongan dan perlindungan Alloh kepada umat ini hingga Abu Huroiroh berkata:
“Demi Alloh yang tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seandainya Abu Bakar tidak menjadi kholifah, niscaya Alloh tidak akan diibadahi.” Ia mengucapkan perkataan ini tiga kali, lalu ditanyakan kepadanya: “Mengapa, wahai Abu Huroiroh?” Ia berkata: “Sesungguhnya Rosululloh telah mengarahkan Usamah bin Zaid d bersama tujuh ratus pasukan menuju Syam, ketika ia sampai di Dzi Khosyab, Rosululloh wafat, dan orang-orang Arab di sekitar Madinah murtad, maka berkumpullah para sahabat Rosululloh , mereka berkata: “Wahai Abu Bakar! Kembalikanlah mereka, mereka telah diarahkan ke Romawi, sementara orang-orang Arab di sekitar Madinah telah murtad!”
Abu Bakar menjawab:
وَالَّذِيْ لَا إِلٰهَ غَيْرُهُ، لَوْ جَرَتِ الْكِلَابُ بِأَرْجُلِ أَزْوَاجِ رَسُوْلِ اللَّهِ مَا رَدَدْتُ جَيْشًا وَجَّهَهُ رَسُوْلُ اللَّهِ ، وَلَا حَلَلْتُ لِوَاءً عَقَدَهُ رَسُوْلُ
“Demi Dzat yang tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seandainya anjing-anjing menyeret kaki-kaki istri Rosululloh , aku tidak akan mengembalikan pasukan yang telah diarahkan oleh Rosululloh , dan aku tidak akan melepaskan bendera yang telah diikat oleh Rosululloh .”
Abu Bakar tetap mengarahkan Usamah, hingga tidaklah ia melewati suatu kabilah yang ingin murtad kecuali mereka berkata:
“Seandainya bukan karena mereka memiliki kekuatan tentu tidak akan keluar seperti ini dari mereka, namun kita biarkan saja mereka hingga mereka bertemu dengan Romawi, lalu mereka pun berhadapan dengan Romawi dan berhasil mengalahkan dan menumpas mereka, dan mereka pun kembali dengan selamat.” Sehingga mereka pun tetap berada dalam Islam(2).
Demikianlah ketaatan dan ittiba’ para sahabat kepada sunnah Rosululloh telah membuahkan pertolongan atas musuh-musuhnya dan kekokohan di atas Islam. Sudahkah kita mengikuti jejak mereka?
Nas’alullohat-taufiq.

_________________________________
(2) al-Awashim minal Qowashim oleh Ibnul-Arobi hlm. 63, al-Bidayah wan Nihayah oleh Ibnu Katsir 6/305

http://almawaddah.wordpress.com

Berdakwah kepada orang tua bagaimanakah caranya?

Oleh: Ustadz Abu Ammar Muhammad Wujud
( al-Mawaddah Edisi 8 Tahun 1 )

Segala puji milik Alloh yang telah menjadikan umat Islam sebagai umat yang terbaik dan mulia di sisi-Nya, sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad beserta keluarga, sahabat, dan seluruh pengikut setianya sampai hari akhir. Materi dakwah (baca: amar ma’ruf nahi munkar) bukanlah hal yang asing di telinga kita, namun praktiknya secara benar merupakan hal yang langka.
Tidak sedikit didapati kaum muslimin melakukannya tanpa berbekal ilmu sehingga justru mendatangkan kemadhorotan. Terkadang didapati seseorang telah sedemikian semangat dalam berdakwah kepada masyarakat tetapi dia lupa kepada keluarga dekatnya bahkan kepada kedua orang tuanya. Terkadang pula didapati mereka yang bersemangat dalam berdakwah kepada keluarga dekat juga kepada orang tuanya tetapi tidak mengindahkan kaidah-kaidah yang mesti dilakukan sehingga bukan kebaikan yang dia dapat akan tetapi justru kejelekan, bukan dengan perbuatan tersebut dia berbuat baik kepada orang tua (baca: birrul walidain) tetapi justru berbuat durhaka kepada keduanya (baca: ‘uququl walidain).

Pentingnya Berdakwah
Ada beberapa hal yang menunjukkan pentingnya berdakwah (baca: amar ma’ruf nahi munkar)
1. Bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah satu tugas yang agung, yang dengannya terjadilah kebaikan, keselamatan, dan kemaslahatan umat. Dalam Islam amar ma’ruf nahi munkar memiliki kedudukan yang agung bahkan kadang disebut dalam al-Qur’an lebih dahulu daripada penyebutan iman kepada Alloh padahal iman kepada-Nya merupakan pokok dalam agama Islam (lihat QS. Ali Imron [3]: 110).
2. Di antara tujuan diutusnya para nabi dan rosul kepada umatnya agar mereka mentauhidkan Alloh dan tauhid adalah puncak dari yang ma’ruf. Sebaliknya melarang umatnya dari kesyirikan dan syirik adalah puncak dari perkara yang mungkar. Dilaknatnya Bani Israel karena mereka tidak melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Alloh berfirman (artinya):
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. al-Ma idah [5]: 78–79)
3. Amar ma’ruf nahi munkar kewajibannya didahulukan daripada sholat dan zakat (baca QS. at-Taubah [9]: 71).
4. Mereka yang berdakwah (beramar ma’ruf dan bernahi munkar) akan mendapatkan rohmat dari Alloh

(lihat QS. at-Taubah [9]:  71).
5. Alloh menjanjikan kepada orang-orang yang berdakwah akan mendapatkan keberuntungan dari Alloh :
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imron [3]: 104)
6. Pertolongan Alloh akan terhenti manakala umat ini tidak beramar ma’ruf dan tidak bernahi munkar. Rosululloh bersabda:
“Alloh berfirman: ‘Perintahkan oleh kalian yang ma’ruf dan cegahlah kemungkaran, sebelum kalian berdo’a kepada-Ku kemudian tidak Aku kabulkan do’a kalian, dan sebelum kalian meminta kepada-Ku kemudian tidak Aku tidak beri, dan sebelum kalian meminta tolong kepada-Ku kemudian Aku tidak memberikan pertolongan kepada kalian.’”
Dakwah Kepada Orang Tua dan Keluarga Dekat

Beberapa penjelasan bahwa pentingnya amar ma’ruf nahi munkar seperti yang tersebut di atas adalah termasuk juga kepada orang tua dan keluarga dekat:
1. Alloh berfirman:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imron: 110)
Di dalam ayat ini disebut secara umum dan tidak dikhususkan kepada orang-orang tertentu. Nabi ketika datang kepada beliau sahabat Jarir untuk berbai’at kepadanya maka Nabi bersabda: “Dan berikanlah nasihat kepada setiap muslim.” (HR. Bukhori)
Tidak diragukan lagi, bahwa orang tua dan keluarga dekat termasuk di dalam golongan orang-orang yang diisyaratkan oleh Nabi tersebut. Maka hendaklah kedua orang tua disuruh dalam kebaikan dan dicegah dari kemungkaran sebagaimana yang dilakukan kepada selain mereka.
2. Alloh berfirman:
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (QS. asy-Syu’aro’ [26]: 214)
Dalam ayat ini Alloh memerintahkan kepada nabi-Nya memberi peringatan kepada keluarga dekat beliau. Alloh secara khusus menyebut mereka untuk menunjukkan pentingnya memberi peringatan kepada mereka dan Rosululloh telah menunaikan kewajiban tersebut dengan memberi peringatan kepada keluarganya yang terdekat. Ketika turun ayat di atas, Rosululloh mengumpulkan keluarganya. Beliau naik ke bukit Shofa sambil memanggil mereka, kemudian beliau bersabda:
Bagaimanakah pendapat kalian semua seandainya aku memberitahukan kepada kalian bahwa ada pasukan kuda di balik bukit yang hendak menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayainya?” Mereka menjawab: “Ya, kami tidak mengenalmu selain sebagai orang jujur.” (HR. Bukhori)
Hikmah yang dapat di ambil dari peringatan Rosululloh sebagaimana tersebut di atas, beliau memberi peringatan kepada paman dan bibi beliau, sedangkan kedudukan paman dan bibi adalah sama dengan orang tua sebagaimana sabda Nabi :
Abbas adalah paman Rosululloh , sesungguhnya paman seseorang sama dengan bapaknya.” (HR. Tirmidzi)
Memuliakan paman sama dengan memuliakan orang tua dan menyakitinya sama dengan menyakiti kedua orang tua.
3. Nabi Ibrohim berdakwah kepada bapaknya.
Alloh berfirman dalam surat Maryam [19]: 41–48, di dalamnya berisikan kisah Nabi Ibrohim dalam mendakwahi orang tuanya. Dalam ayat ini ditunjukkan adanya pengingkaran kepada orang yang diperintahkan untuk dihormati, dan hal ini dimulai dari orang yang paling dekat sebagaimana firman Alloh di dalam surat asu-Syu’aro’ [26]: 214, dan at-Tahrim [66]: 5, serta sabda Rosululloh :
“Mulailah dengan orang-orang yang engkau nafkahi.” ( HR. Bukhori)
4. Nabi berdakwah kepada paman-pamannya. Banyak sekali dalil yang menunjukkan kepada dakwah beliau terhadap paman-pamannya, di antaranya ketika Abu Tholib akan meninggal, datanglah Rosululloh kepadanya, beliau bersabda:

“Wahai pamanku! Ucapkanlah ‘Laa Ilaha Illalloh’, suatu kalimat yang aku persaksikan dengan kalimat itu atasmu di hadapan Alloh.” (HR. Bukhori)
Ketika paman beliau, Abbas, sedang mengeluh dan mengharap kematian kepadanya, beliau berkata :
Janganlah engkau mengharapkan kematian, wahai paman Rosululloh! Sesungguhnya jika engkau tetap hidup akan ditambah kebaikanmu, dan itu lebih baik bagimu. Jika engkau tetap hidup engkau dapat meminta maaf atas kesalahanmu, dan itu lebih baik bagimu.” (HR. Bukhori)
Tindakan sahabat mengingatkan Nabi ketika beliau lupa, menunjukkan disyari’atkannya berdakwah kepada orang tua. Satu di antara hadits yang berbicara masalah ini adalah:

Tatkala beliau mengimami sholat lalu beliau terlupa bacaan ayat sedang para sahabat tidak mengingatkan beliau. Maka seusai sholat Nabi menegur para sahabat dan mengingatkan mereka agar mengingatkan bacaan beliau bila beliau terlupa.
Jika Nabi sebagai penghulu umat ini menganjurkan kepada umatnya untuk menegur ketika beliau lupa dan menerima dengan lapang dada dari teguran mereka, maka kepada selain beliau—termasuk kepada kedua orang tua—adalah lebih layak. Ketika kesopanan dan adab kepada Nabi tidak menghalangi untuk mengingatkan beliau ketika lupa, bukankah kepada selain beliau lebih utama?
5. Besarnya hak orang tua terhadap anak menuntut perhatian yang besar untuk mendakwahi mereka.

6. Dakwah anak kepada orang tua merupakan faktor pemicu semangat dakwah si anak kepada orang lain. Dakwah kepada orang tua akan menghilangkan prasangka buruk terhadap pribadi seorang da’i. Orang tidak akan berkomentar mengapa si da’i tersebut mendakwahi orang lain sementara dia tidak mendakwahi orang tuanya. Di antara hikmah yang didapat dari dakwah Nabi Ibrohim kepada bapaknya adalah agar menjadi hujjah bagi kaumnya, sehingga mereka tidak berkata: “Mengapa dia meninggalkan orang-orang dekatnya dan justru mendakwahi kita? Bukankah seharusnya dia tidak membedakan orang yang dekat dan yang jauh seandainya yang dikatakan adalah kebaikan.”
Sepertinya, ini adalah rahasia mengapa Rosululloh diperintahkan untuk mengingatkan keluarga dekat sebelum orang lain. Beliau lakukan dengan terang-terangan, beliau kumpulkan mereka, beliau peringatkan mereka dari siksa Alloh, dan lain-lain.
Bagaimanakah cara berdakwah kepada orang tua?
Dari uraian di atas, kiranya jelas bagi kita tentang urgensi amar ma’ruf nahi munkar. Bahwasanya Alloh memerintahkan hamba-Nya untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar kepada manusia secara umum serta kepada keluarga dekat dan kedua orang tua secara khusus. Bahwa berdakwah (baca: amar ma’ruf nahi munkar) memiliki tahapan dan adab-adab yang harus diperhatikan. Tahapan dan adab apakah yang mesti dilakukan oleh seorang anak ketika berdakwah kepada kedua orang tuanya?
Hal yang mesti dilakukan oleh seorang anak ketika mendakwahi kedua orang tuanya adalah dengan menjelaskan hukum suatu perbuatan dan menasihati keduanya. Dengan kata lain, memberi tahu kepada orang tua agar mengerjakan kewajiban yang ditinggalkan dan meninggalkan segala keharaman yang masih dilakukan. Dan upaya menasihati ini hendaklah dilakukan dengan penuh kelembutan dan tidak emosional. Berikut ini beberapa keterangan yang menjelaskan perkara tersebut:
1. Dasar dalam berdakwah kepada manusia secara umum adalah dengan lemah lembut dan tidak menempuh jalan kekerasan — kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu. Jika hal tersebut berlaku untuk manusia secara umum maka lebih utama lagi kepada kedua orang tua karena besarnya hak mereka terhadap si anak (lihat QS. al-Isro’ [17]: 23–24, Luqman [31]: 14–15).
2. Alloh menjadikan Nabi Ibrohim sebagai uswatun hasanah (suri teladan) bagi kita dan di dalam al-Qur’an disebut secara khusus dua ayat dengan kata-kata uswatun hasanah, yaitu terhadap Nabi Ibrohim dan Nabi Muhammad, karena kedekatan dan kesamaan apa yang dibawa oleh kedua nabi dan rosul tersebut. Kepada bapaknya, Nabi Ibrohim berdakwah dengan penuh kelembutan, santun, dan rasa sayang. Padahal, orang tua beliau dalam keadaan kafir, seperti yang digambarkan oleh Alloh dalam firman-Nya (artinya):
Ceritakanlah (wahai Nabi Muhammad) kisah Ibrohim di dalam al-Kitab (al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Robb yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Robb yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrohim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” Berkata Ibrohim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Robbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam [19]: 41–47)

3. Kelemahlembutan Nabi Ibrohim dalam mengajak bapaknya dapat kita temukan dalam beberapa segi:
Beliau menyapa bapaknya dengan kata-kata “hai bapakku” untuk menggambarkan hubungan dekat antara anak dengan bapak (lihat QS. Maryam: 42–44).
  • Beliau mengajak bapaknya untuk mengevaluasi kembali perbuatannya yaitu mengapa dia menyembah sesuatu yang tidak dapat mendengar, tidak melihat, dan tidak memberi manfaat sedikitpun (lihat QS. Maryam [19]: 42).
  • Beliau sama sekali tidak menuduh bapaknya dengan kata “bodoh” dan sekaligus tidak mengklaim dirinya sebagai yang paling pintar. Beliau tetap santun dalam menjelaskan kepada bapaknya (lihat QS. Maryam [19]: 43)
  • Beliau mengingatkan bahwa berpalingnya bapak beliau dari beribadah kepada Alloh tidak lain karena menuruti setan (lihat QS. Maryam [19]: 44).
  • Beliau sama sekali tidak mengatakan bahwa bapaknya pasti akan ditimpa adzab, bahkan beliau menegurnya dengan penuh santun, beliau khawatir jangan-jangan bapaknya akan ditimpa adzab dari Alloh yang Maha Pengasih (lihat QS. Maryam [19]: 45).

Nabi Muhammad juga demikian ketika beliau mengajak kepada kedua pamannya yaitu Abu Tholib dan Abbas. Beliau berkata kepada keduanya dengan penuh kelembutan.
Kepada Abbas beliau berkata:

“Janganlah engkau mengharapkan kematian, wahai paman Rosululloh!” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la)
Beliau memulai dengan kata-kata “wahai pamanku” untuk menunjukkan kedekatan dan kecintaan beliau kepada keduanya.
Bolehkah seorang anak berdakwah kepada orang tuanya dengan cara kekerasan?
Kita dapati dari penjelasan-penjelasan para ulama bahwa seorang anak tidak boleh secara mutlak berdakwah kepada kedua orang tuanya dengan cara kekerasan, tidak boleh menakut-nakuti, memukul, menghina, berkata kasar, dan lain-lain. Alloh berfirman:
Dan Robbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Robbku, kasihilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sewaktu kecil.” (QS. al-Isr0’ [17]: 23–24)
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Luqman [31]: 14–15)
Walaupun demikian, beberapa di antara mereka ada yang berpendapat bolehnya mendakwahi dengan cara kasar pada situasi-situasi tertentu dan ketika tidak lagi mempan dengan cara yang lembut atau yang halus, itu pun karena keinginan besar si anak terhadap kebaikan kedua orang tuanya. Sungguh pun begitu, beberapa hal berikut ini menjadi tambahan dari penjelasan-penjelasan di atas:
1. Dasar dalam dakwah adalah terhindarnya sikap keras kepada semua orang, dan kepada kedua orang tua tentunya lebih utama.
2. Bolehnya keras dalam berdakwah berhubungan erat dengan hal-hal berikut: kalau orang tua tersebut kafir dan kemungkaran yang dilakukan adalah kesyirikan dan penghinaan atas diri Nabi maka boleh mendakwahi mereka dengan keras sebagaimana yang dilakukan oleh Abdulloh tatkala mendakwahi bapaknya yang bernama Abdulloh bin Ubay bin Salul.
Apabila orang tua tersebut muslim dan kemungkaran yang dilakukan sama dengan di atas maka sikap keras tidak ditempuh kecuali dengan batasan-batasan yang sangat ketat. Hendaklah anak yang mendakwahi orang tuanya dengan keras tersebut menimbang sejauh mana maslahat dan madhorot yang dia dapat dari dakwah tersebut, jika madhorot yang terjadi lebih banyak daripada maslahatnya maka hukumnya menjadi haram. Semoga Alloh merohmati Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim yang berkata: “Jika amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang paling utama, maka haruslah mengandung maslahat yang lebih besar daripada kerusakan yang akan ditimbulkan, karena untuk inilah para nabi diutus dan kitab-kitab diturunkan dan Alloh tidak menyukai kerusakan. Oleh sebab itu, jika kerusakan yang ditimbulkan dari amar ma’ruf dan nahi munkar lebih besar maka ia tidak diperintahkan oleh Alloh, walaupun telah ditinggalkan kewajiban atau dilanggar perkara yang haram.”
Jika mengingkari kemungkaran akan membawa kepada kemungkaran yang lebih besar atau kepada sesuatu yang lebih dibenci oleh Alloh dan rosul-Nya maka tidak boleh diingkari walaupun Alloh membenci kemungkaran tersebut dan para pelakunya. Sebagai permisalan ialah mengingkari penguasa dengan melakukan pemberontakan kepada mereka, ini tidak boleh karena tindakan pemberontakan tersebut merupakan sumber segala kerusakan dan fitnah. Wallohu A’lam.

Bolehkah seorang anak mengubah kemungkaran orang tuanya dengan tangannya?
Sebagaimana yang kita maklumi, satu di antara tahapan dakwah (baca: amar ma’ruf nahi munkar) adalah mengubah kemungkaran dengan tangan. Dalam kaitan dengan pembahasan kita, bolehkah seorang anak mengubah kemungkaran orang tuanya dengan tangannya, seperti mematahkan batang rokoknya, menumpahkan khomernya, merobek pakaian yang terbuat dari sutra, mengembalikan harta haram yang ada di dalam rumah kepada pemiliknya yang sah, merusak gambar-gambar yang tergantung di dinding, menghancurkan bejana-bejana yang terbuat dari emas dan perak, dan lain-lain. Kalau kita mau menyadari hal-hal tersebut justru akan memancing kemarahan mereka, bisa jadi akan berakibat timbulnya kerusakan yang lebih besar.
Maka jawaban dari pertanyaan di atas—Wallohu A’lam—: “Hendaklah seorang anak mengubah kemungkaran yang dilakukan oleh orang tuanya dengan tangan jika hal tersebut tidak akan mendatangkan kerusakan atau madhorot yang lebih besar, baik terhadap dirinya, hartanya, dan keluarganya. Dan dalam mengubah kemungkaran yang dilakukan oleh orang tuanya hendaklah sang anak mempergunakan cara-cara yang lemah lembut, mendo’akan orang tuanya serta menjelaskan bahaya maksiat terhadapnya, sehingga orang tua yakin bahwa sang anak tidak memiliki maksud lain di dalam dakwahnya kecuali demi kebaikan. Berikut ini beberapa kisah yang terjadi pada diri Nabi Muhammad yang meninggalkan nahi munkar atas beberapa kemungkaran karena khawatir dampak kerusakan yang akan timbul lebih besar:
1. Nabi tidak membunuh Abdulloh bin Ubay bin Salul walaupun beliau berhak melakukannya, karena khawatir manusia akan lari dari agama Islam.
2. Nabi tidak membunuh orang-orang yang berlaku lancang kepada beliau di Ji’ronah karena beliau khawatir manusia akan lari dari Islam.
3. Nabi tidak membunuh Abdulloh bin Dzil-Khuwaishiroh karena beliau khawatir manusia akan lari dari Islam.
4. Nabi tidak merenovasi Ka’bah pada masa Quraisy dan membiarkan sebagaimana keadaannya karena beliau khawatir manusia akan lari dari Islam.

5. Nabi membiarkan seorang Badui kencing di dalam masjid hingga ia selesai dari kencingnya.
6. dan lain-lain.
Demikian penjelasan singkat tentang bagaimana semestinya kita mengubah kemungkaran—terutama mengubah kemungkaran yang dilakukan orang tua—sehingga tidak berbalik menjadi kemungkaran yang lebih besar dan kita akan menuai hasil sesuai dengan yang diharapkan. Semoga Alloh menjadikan kita dan kaum muslimin senantiasa istiqomah di atas jalan-Nya. Âmîn.

http://almawaddah.wordpress.com

Ketinggian Allah ta’ala di Atas Semua Makhluk-Nya

Allah ta’ala berfirman :
يَخَافُونَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka)” [QS. An-Nahl : 50].
تَعْرُجُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun” [QS. Al-Ma’aarij : 4].
Ayat ini merupakan salah satu dalil yang bahwa Allah ta’ala berada di atas makhluk-Nya secara hakiki. Dijelaskan lagi di ayat lain :
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu” [QS. Al-Mulk : 16].
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata tentang ayat ini :
وَقَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَعْنَاهُ: مَنْ فَوْقِ السَّمَاءِ عَلَى الْعَرْشِ، كَمَا قَالَ: فَسِيحُوا فِي الأَرْضِ أَيْ: فَوْقَ الأَرْضِ،
“Dan kami telah menyebutkan bahwa maknanya : Allah yang berada di atas langit di atas ‘Arsy, sebagaimana firman-Nya : ‘Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi (fil-ardli)’ (QS. At-Taubah : 2), yaitu : fauqal-ardli (di atas permukaan bumi)...” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Al-Baihaqiy, 2/334, tahqiq : ‘Abdullah Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwaadiy].

Berikut ini akan saya bawakan beberapa atsar dari para shahabat dan ulama setelahnya yang menjelaskan ketinggian Allah di atas makhluk-Nya, dan Ia di atas langit-langit-Nya lagi beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya.
1.     Zainab bintu Jahsy radliyallaahu ‘anhaa
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا قَالَ: فَكَانَتْ تَفْخَرُ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ: زَوَّجَكُنَّ أَهْلُكُنَّ، وَزَوَّجَنِي اللَّهُ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ ".قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd bin Humaid : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Fadhl : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari Tsaabit, dari Anas, ia berkata : “Ayat ini turun berkenaan dengan Zainab bintu Jahsy : ‘Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), maka Kami nikahkan engkau dengannya’ (Al-Ahzab: 37)”. Anas berkata : “Adalah Zainab membanggakan dirinya atas istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : ‘Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah yang berada di atas tujuh langit” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3213, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”].
2.     ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا بَحْرُ بْنُ نَصْرِ بْنِ سَابِقٍ الْخَوْلانِيُّ، قَالَ: ثنا أَسَدٌ، قَالَ: ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَاصِمِ ابْنِ بَهْدَلَةَ، عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: " مَا بَيْنَ سَمَاءِ الدُّنْيَا وَالَّتِي تَلِيهَا مَسِيرَةَ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ كُلِّ سَمَاءٍ مَسِيرَةَ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ، وَبَيْنَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ وَبَيْنَ الْكُرْسِيِّ خَمْسِ مِائَةِ عَامٍ، وَالْعَرْشُ فَوْقَ السَّمَاءِ، وَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَوْقَ الْعَرْشِ، وَهُوَ يَعْلَمُ مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ "
Telah menceritakan kepada kami Bahr bin Nashr bin Saabiq Al-Khaulaaniy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Asad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari ‘Aashim bin Bahdalah, dari Zirr bin Hubaisy, dari Ibnu Mas’uud, ia berkata : “Jarak antara langit dunia dan langit di atasnya sejauh perjalanan selama 500 tahun. Jarak antara setiap langit dengan langit lainnya sejauh perjalanan selama 500 tahun. Jarak antara langit ketujuh dan kursi sejauh perjalanan selama 500 tahun. Dan ‘Arsy di atas langit, dan Allah tabaaraka wa ta’ala berada di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa yang kalian lakukan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid, hal. 242-243, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz Asy-Syahwaan; Daarur-Rusyd, Cet. 1/1408 H].
Sanadnya hasan.
3.     Adl-Dlahhaak bin Muzaahim rahimahullah (w. 105/106 H).
حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ، قَالَ: ثني نضر بْنُ مَيْمُونٍ الْمَضْرُوبُ، قَالَ: ثنا بُكَيْرُ بْنُ مَعْرُوفٍ، عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ، عَنِ الضَّحَّاكِ، فِي قَوْلِهِ: مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلاثَةٍ إِلَى قَوْلِهِ:هُوَ مَعَهُمْ. قَالَ: هُوَ فَوْقَ الْعَرْشِ، وَعِلْمُهُ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Abi Ziyaad, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Nadlr bin Maimuun Al-Madlruub, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin Hayyaan, dari Adl-Dlahhaak bin Muzaahim tentang firman-Nya : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang’ hingga firman-Nya : ‘melainkan Dia berada bersama mereka’ (QS. Al-Mujaadilah : 7). Ia (Adl-Dlahhaak) berkata : “Ia (Allah) berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka, di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 23/237, tahqiq : Ahmad Muhammad Syaakir; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1420 H].
Catatan : Penyebutan Nadlr bin Maimuun Al-Madlruub ini keliru. Yang benar adalah : Nuuh bin Maimuun Al-Madlruub sebagaimana riwayat ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 592, Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 909, dan Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah no. 388. Selain itu, ia lah perawi yang meriwayatkan dari Bukair bin Ma’ruuf.
Nuuh bin Maimuun seorang yang tsiqah.
Sanadnya hasan.
4.     Sulaimaan At-Taimiy rahimahullah (w. 143 H).
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي خَيْثَمَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ، قَالَ: ثَنَا ضَمْرَةُ، عَنْ صَدَقَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ التَّيْمِيَّ، يَقُولُ: لَوْ سُئِلْتُ: أَيْنَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى؟ قُلْتُ: فِي السَّمَاءِ، فَإِنْ قَالَ: فَأَيْنَ عَرْشُهُ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاءَ؟ قُلْتُ: عَلَى الْمَاءِ، فَإِنْ قَالَ لِي: أَيْنَ كَانَ عَرْشُهُ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْمَاءَ ؟ قُلْتُ: لا أَدْرِي
Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Husain, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Abi Khaitsamah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Haaruun bin Ma’ruuf, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Dlamrah, dari Shadaqah, ia berkata : Aku mendengar At-Taimiy berkata : “Seandainya aku ditanya : ‘dimanakah Allah ?’, akan aku jawab : ‘Di langit’. Jika ia kembali bertanya : ‘Lalu, dimanakah ‘Arsy-Nya sebelum ia menciptakan langit ?’.  Aku akan menjawab : ‘Di atas air’. Dan jika ia bertanya lagi kepadaku : ‘Dimanakah ‘Arsy-Nya dahulu sebelum Allah menciptakan air ?’. Aku akan menjawab : ‘Aku tidak tahu” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad, hal. 401, tahqiq : Ahmad bin Mas’uud Al-Hamdaan; Cet. 2/1411 H].
5.     Maalik bin Anas rahimahullah (w. 179 H).
حدثني أبي رحمه الله حدثنا سريج بن النعمان حدثنا عبدالله بن نافع قال كان مالك بن أنس يقول الايمان قول وعمل ويقول كلم الله موسى وقال مالك الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
Telah menceritakan kepadaku ayahku rahimahullah : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : “Maalik bin Anas pernah berkata : ‘Iman itu adalah perkataan dan perbuatan, Allah berbicara kepada Muusaa, Allah berada di atas langit dan ilmu-Nya ada di setiap tempat – tidak ada sesuatupun yang luput dari-Nya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah, hal. 280 no. 532, tahqiq : Dr. Muhammad bin Sa’iid Al-Qahthaaniy; Daaru ‘Aalamil-Kutub, Cet. 4/1416 H. Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud dalam Masaail-nya hal. 263, Al-Aajuriiy dalam Asy-Syarii’ah, 2/67-68 no. 695-696, Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad hal. 401 no. 673, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 7/138, dan Ibnu Qudaamah dalam Itsbaatu Shifaatil-‘Ulluw hal. 166 no. 76].
Sanadnya shahih.
6.     ‘Abdullah bin Al-Mubaarak rahimahullah (w. 181 H).
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ، ثنا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ، عَنِ ابْنِ الْمُبَارَكِ، قَالَ: قِيلَ لَهُ: كَيْفَ نَعْرِفُ رَبَّنَا؟ قَالَ: " بِأَنَّهُ فَوْقَ السَّمَاءِ السَّابِعَةِ عَلَى الْعَرْشِ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ash-Shabbaah Al-Bazzaaz : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan bin Syaqiiq, dari Ibnul-Mubaarak. Syaqiiq berkata : Dikatakan kepadanya : “Bagaimana kita mengetahui Rabb kita ?”. Ia (Ibnul-Mubaarak) berkata : “Bahwasannya Allah berada di atas langit yang ketujuh, di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya” [Diriwayatkan oleh Abu Sa’iid Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah, hal. 39-40 no. 67, tahqiq : Badr Al-Badr; Ad-Daarus-Salafiyyah, Cet. 1/1405 H. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad 2/15 no. 13-14 dan ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 22 & 216 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’ wash-Shifaat no. 903].
Sanadnya hasan.
7.     Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid rahimahullah (w. 228 H).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَبُو الْحَسَنِ بْنُ الْعَطَّارِ، قَالَ: سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بنَ مُصْعَبٍ الْعَابِدَ، يَقُولُ: " مَنْ زَعَمَ أَنَّكَ لا تَتَكَلَّمُ وَلا تُرَى فِي الآخِرَةِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِوَجْهِكَ، وَلا يَعْرِفُكَ، أَشْهَدُ أَنَّكَ فَوْقَ الْعَرْشِ، فَوْقَ سَبْعِ سَمَوَاتٍ، لَيْسَ كَمَا يَقُولُ أَعْدَاؤُكَ الزَّنَادِقَةُ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin ‘Umar bin Al-Hakam Abul-Hasan bin Al-‘Aththaar, ia berkata : Aku mendengar Muhammad bin Mush’ab Al-‘Aabid berkata : “Barangsiapa yang menyangka bahwasannya Engkau tidak berbicara dan tidak dapat dilihat di akhirat, maka ia kafir terhadap wajah-Mu dan tidak mengetahui-Mu. Aku bersaksi bahwasannya Engkau berada di atas ‘Arsy, di atas tujuh langit. Tidak seperti yang dikatakan musuh-musuh-Mu, yaitu Zanaadiqah” [Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy dalam Ash-Shifaat, hal. 72-73 no. 64, tahqiq : Dr. ‘Aliy bin Muhammad bin Naashir Al-Faqiihiy – dicetak bersama kitab An-Nuzuul lid-Daaruquthniy; Cet. 1/1403 H. Diriwayatkan juga oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 167, An-Najjaad dalam Ar-Radd ‘alaa Man Yaquulu Al-Qur’aan Makhluuq no. 110, dan Al-Khathiib dalam At-Taariikh 4/452].
Sanadnya shahih.
8.     Qutaibah bin Sa’iid rahimahullah (w. 240 H).
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ الثَّقَفِيَّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا رَجَاءٍ قُتَيْبَةَ بْنَ سَعِيدٍ، قَالَ: " هَذَا قَوْلُ الأَئِمَّةِ الْمَأْخُوذِ فِي الإِسْلامِ وَالسُّنَّةِ: الرِّضَا بِقَضَاءِ اللَّهِ، .........وَيَعْرِفَ اللَّهَ فِي السَّمَاءِ السَّابِعَةِ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى
Aku mendengar Muhammad bin Ishaaq Ats-Tsaqafiy, ia berkata : Aku mendengar Abu Rajaa’ Qutaibah bin Sa’iid berkata : “Ini adalah perkataan para imam yang diambil dalam Islam dan Sunnah : ‘Ridlaa terhadap ketetapan Allah…… dan mengetahui Allah berada di langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana firman Allah : ‘Ar-Rahmaan di atas ‘Arsy beristiwa’. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah’ (QS. Thaha : 5)…..” [Diriwayatkan oleh Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar Ashhaabil-Hadiits, hal. 30-34 no. 17, tahqiq : As-Sayyid Shubhiy As-Saamiraa’iy; Daarul-Khulafaa’, Cet. Thn. 1404 H].
Sanadnya shahih.
9.     Ahmad bin Hanbal rahimahullah (w. 241 H).
وهو على العرش فوق السماء السابعة. فإن احتج مبتدع أو مخالف بقوله تعالى {وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد} وبقوله عز وجل : {وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَمَا كُنْتُمْ} أو بقوله تعالى : {مَا يكُونُ مِنْ نَجْوى ثلاثة إلا هُوَ رَابِعُهُمْ} ونحو هذا من متشابه القران
Ia (Allah) berada di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh. Sesungguhnya ahli bid’ah atau orang yang menyimpang dari kebenaran berhujjah dengan firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16), atau dengan firman-Nya : ‘Dan Ia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada’ (QS. Al-Hadiid : 4), atau dengan firman-Nya : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadilah : 7), dan yang lainnya dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyaabih [As-Sunnah oleh Ahmad bin Hanbal melalui kitab Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah Al-Ahmadiy, 1/318-319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412 H].
Catatan : Penjelasan Al-Imaam Ahmad itu menggugurkan klaim kelompok Asyaa’irah yang mengklaim bahwa lafadh Allaahu ‘alal-‘Arsy atau yang semisalnya itu sifatnya mutasyaabih. Justru mafhum yang terambil dari perkataan beliau, lafadh itu adalah muhkam (jelas); dan yang samar (mutasyaabih) adalah lafadh nash-nash yang menyatakan bahwa Allah ta’ala bersama hamba-Nya.[1]
As-Sijziy rahimahullah menukil :
ونص أحمد بن حنبل رحمة الله عليه على أن الله تعالى بذاته فوق العرش، وعلمه بكل مكان
“Dan Ahmad – semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya – mengatakan bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, sedangkan ilmu-Nya ada di setiap tempat” [Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid, hal. 125, tahqiq : Muhammad ba-Kariim; Daarur-Raayah, Cet. 1/1414 H].
10.   Al-Muzaanniy rahimahullah (w. 264 H).
[عال] على عرشه، وهو دان بعلمه من خلقه، أحاط علمه بالأمور، ....
Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, Ia (Allah) dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu....” [Syarhus-Sunnah lil-Muzanniy, hal. 79 no. 1, tahqiq : Jamaal ‘Azzuun].
عال على عرشه، بائن من خلقه، موجود وليس بمعدوم ولا بمفقود
Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada dan hilang” [idem, hal. 82].
11.   Abu ‘Iisaa At-Tirmidziy rahimahullah (w. 279 H).
وعلمُ الله وقدرته وسلطانه في كل مكان، وهو على العرش كما وصف في كتابه
“Dan ilmu Allah, kemampuan, dan kekuasaan-Nya ada di setiap tempat. Adapun Allah ada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Ia sifatkan dalam kitab-Nya” [Al-Jaami’ lit-Tirmidziy 5/403-404 melalui perantaraan kitab ‘Aqiidah Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah lil-Imaam At-Tirmidziy oleh Abu Mu’aadz Thaariq bin ‘Iwadlillah, hal. 95; Daarul-Wathan, Cet. 1/1421 H].
12.   Abu Zur’ah (w. 264 H) dan Abu Haatim Ar-Raaziy (w. 277 H) rahimahumallah.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُظَفَّرِ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَبَشٍ الْمُقْرِئُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي حَاتِمٍ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبِي وَأَبَا زُرْعَةَ عَنْ مَذَاهِبِ أَهْلِ السُّنَّةِ فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَمَا أَدْرَكَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ، وَمَا يَعْتَقِدَانِ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالا: أَدْرَكْنَا الْعُلَمَاءَ فِي جَمِيعِ الأَمْصَارِ حِجَازًا وَعِرَاقًا وَشَامًا وَيَمَنًا فَكَانَ مِنْ مَذْهَبِهِمُ: " الإِيمَانُ قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، ......وَأَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عَرْشِهِ بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ، وَعَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ K بِلا كَيْفٍ، أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا، لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Al-Mudhaffar Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Muhammad bin Habsy Al-Muqriy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Abi Haatim, ia berkata : ”Aku pernah bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah tentang madzhab Ahlus-Sunnah dalam ushuuluddiin (pokok-pokok agama) dan apa yang mereka temui dari para ulama di seluruh pelosok negeri dan yang mereka berdua yakini tentang hal itu, maka mereka berdua berkata : ”Kami telah bertemu dengan para ulama di seluruh pelosok negeri, baik di Hijaz, ’Iraq, Mesir, Syaam, dan Yaman, maka yang termasuk madzhab mereka adalah : ”Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah maupun berkurang........ dan bahwasannya Allah ’azza wa jalla berada di atas ’Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana yang Ia sifatkan diri-Nya dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya shallallaahu ’alaihi wa sallam, tanpa menanyakan ’bagaimana’, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Allah berfirman : ’Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad, 1/176, tahqiq : Ahmad bin Sa’d Hamdaan; Cet. 2/1411 H].
Shahih.
13.   ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy rahimahullah (w. 280 H).
فَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَوْقَ عَرْشِهِ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ، فَمَنْ لَمْ يَعْرِفْهُ بِذَلِكَ لَمْ يَعْرِفْ إِلَهَهُ الَّذِي يَعْبُدُ
Allah tabaraka wa ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas langit-langit-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Barangsiapa yang tidak mengetahui hal itu, maka itu berarti ia tidak mengetahui tuhan yang ia sembah/ibadahi” [Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah oleh ‘Utsmaan bin Sa’iid Ad-Daarimiy, hal. 39 no. 66].
14.   Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah rahimahullah (w. 297 H).
فهو فوق السماوات وفوق العرش بذاته متخلصا من خلقه بائنا منهم، علمه في خلقه لا يخرجون من علمه
Allah berada di atas langit-langit dan di atas ‘Arsy dengan Dzat-Nya, terlepas dari makhluk-Nya lagi terpisah darinya. Adapun ilmu-Nya pada makhluk-Nya, mereka (makhluk-Nya) tidak terlepas dari ilmu-Nya” [Al-‘Arsy oleh Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, hal. 291-292, tahqiq : Dr. Muhammad bin Khaliifah At-Tamiimiy; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1418 H].
15.   Ibnu Khuzaimah rahimahullah (w. 311 H).
سَمِعْتُ مُحَمَّدَ بْنَ صَالِحِ بْنِ هَانِئٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَبَا بَكْرٍ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْحَاقَ بْنِ خُزَيْمَةَ، يَقُولُ: مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ
Aku mendengar Muhammad bin Shaalih bin Haani’ berkata : Aku mendengar Abu Bakr Muhammad bin Ishaaq bin Khuzaimah berkata : “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat, maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Diriwayatkan oleh Abu ‘Abdillah Al-Haakim dalam Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits hal. 84; Daarul-Afaaq].
Sanadnya shahih.
16.   Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah (w. 324 H).
وأجمعوا . . أنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه ، وقد دل على ذلك بقوله : {أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض}، وقال : {إليه يصعد الكلم الطيب والعمل الصالح يرفعه}. وقال : {الرحمن على العرش استوى}، وليس استواءه على العرش استيلاء كما قال أهل القدر، لأنه عز وجل لم يزل مستوليا على كل شيء
“Dan mereka (para ulama Ahlus-Sunnah) bersepakat..... bahwasannya Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan hal itu ditunjukkan melalui firman-Nya : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Dan Allah berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). Allah berfirman : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang ber-istiwaa’ di atas 'Arsy (QS. Thaha : 5). Dan bukanlah yang dimaksud istiwaa’-nya Allah di atas ‘Arsy itu adalah istilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang Qadariyyah. Karena Allah ‘azza wa jalla senantiasa berkuasa atas segala sesuatu” [Risaalatun ilaa Ahlits-Tsaghr oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 231-234, tahqiq : ‘Abdullah bin Syaakir Al-Junaidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 2/1422 H].
17.   Abu Bakr Muhammad bin Al-Husain Al-Aajurriy rahimahullah (w. 360 H).
أن الله عز وجل على عرشه فوق سبع سمواته، وعلمه محيط بكل شيء، لا يخفى عليه شيء في الأرض ولا في السماء
“Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas tujuh langit-langit-Nya. Dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun dibumi dan di langit yang tersembunyi darinya” [Asy-Syarii’ah oleh Abu Bakr Al-Aajurriy, 2/70, tahqiq : Al-Waliid bin Muhammad; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1417 H].
18.   Ibnu Abi Zaid Al-Qairuwaaniy rahimahullah (w. 386 H).
وأنه تعالى فوق عرشه المجيدِ بذاته ، وأنه في كل مكان بعلمه
Allah ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya yang mulia dengan Dzat-Nya, dan bahwasannya Ia berada di setiap tempat dengan ilmu-Nya” [Risaalah Ibni Abi Zaid Al-Qairuwaaniy yang termuat dalam kitab ‘Aqaaidu Aimmatis-Salaf oleh Fawwaaz Ahmad Zamarliy, hal. 163; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 1/1415 H].
وأنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه، وأنه في كل مكان بعلمه
“Dan Allah berada di atas langit-langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya. Dan bahwasannya Ia ada di setiap tempat dengan ilmu-Nya” [Al-Jaami’ hal. 141 melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qarrarahaa Aimmatul-Maalikiyyah oleh Abu ‘Abdillah Al-Hammaadiy, hal. 199; Ad-Daarul-Atsariyyah, Cet. 1/1429 H].
19.   Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ishaaq bin Mandah rahimahullah (w. 395 H).
بيان اخر يدل على أن الله تعالى فوق عرشه بائنا عن خلقه
“Penjelasan lain yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya” [At-Tauhiid oleh Ibnu Mandah, hal. 666, tahqiq : Muhammad Al-Wuhaibiy & Muusaa bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Ghushn; Daarul-Hadyin-Nabiy, Cet. 1/1428 H].
ذكر الايات المتلوة والأخبار المأثورة بنقل الرواة المقبولة التي تدل على أن الله تعالى فوق سمواته وعرشه وخلقه قاهرا سميعا عليما
“Penyebutan ayat-ayat dan khabar-khabar ma’tsuur dengan penukilan dari para perawi yang diterima, yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala berada di atas langit-langit-Nya, ‘Arsy-Nya, dan makhluk-Nya; berkuasa, Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui” [At-Tauhiid oleh Ibnu Mandah, hal. 761].
20.   Ibnu Abi Zamaniin rahimahullah (w. 399 H).
وَهَذَا الْحَدِيثُ بَيَّنَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى عَرْشِهِ فِي السَّمَاءِ دُونَ الأَرْضِ، وَهُوَ أَيْضًا بَيِّنٌ فِي كِتَابِ اللَّهِ، وَفِي غَيْرِ مَا حَدِيثٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ
“Hadits ini menjelaskan bahwa Allah ‘azza wa jalla di atas ‘Arsy-Nya di langit, bukan di bumi. Dan hadits itu juga dijelaskan dalam Kitabullah dan hadits lain dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Ushuulus-Sunnah oleh Ibnu Abi Zamaniin, hal. 113, tahqiq : ‘Abdullah Al-Bukhaariy; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1415 H].
21.   Abul-Qaasim Hibatullah bin Al-Hasan Al-Laalikaa’iy rahimahullah (w. 418 H).
سِيَاقُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى وَأَنَّ اللَّه عَلَى عرشه فِي السماء وقال عَزَّ وَجَلَّ: إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ. وقال: أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ. وقال تعالى: وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً. فدلت هذه الآية أَنَّهُ تعالى فِي السماء، وعلمه محيط بكل مكان مِن أرضه وسمائه
“Pembicaraan tentang apa-apa yang diriwayatkan dalam firman-Nya ta’ala : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy (QS. Thaha : 5). Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10). Dan firman-Nya ta’ala : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Dan firman-Nya ta’ala : ‘Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga’ (QS. Al-An’aam : 61). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasannya Allah ta’ala berada di langit dan ilmu-Nya meliputi seluruh tempat di bumi-Nya dan langit-Nya” [Syarh Ushuulil-I’tiqaad oleh Al-Laalikaa’iy, hal. 387-388].
22.   Abun-Nashr As-Sijziy Al-Hanafiy rahimahullah (w. 444 H).
واعتقاد أهل الحق أن الله سبحانه فوق العرش بذاته من غير مماسة
“Dan orang-orang yang menetapi kebenaran berkeyakinan bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala di atas ‘Arsy dengan Dzaat-Nya tanpa bersentuhan” [Risaalah As-Sijziy ilaa Ahli Zubaid, hal. 126-127].
23.   Abu ‘Amru Ad-Daaniy rahimahullah (w. 444 H).
ومن قولهم : أنه سبحانه فوق سماواته، مستو على عرشه، ومستول على جميع خلقه، وبائن منهم بذاته، غير بائن بعلمه
“Dan termasuk di antara perkataan mereka : Bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala di atas langit-langit-Nya, beristiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya, berkuasa atas segala makhluknya. Ia terpisah dari mereka (makhluk-Nya) dengan Dzaat-Nya, namun tidak terpisah dengan ilmu-Nya” [Ar-Risaalah Al-Waafiyah hal. 52 melalui perantaraan Masaailul-‘Aqiidah Allatii Qarrarahaa Aimmatul-Maalikiyyah, hal. 194].
24.   Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah (w. 449 H).
ويعتقد أصحاب الحديث ويشهدون أن الله سبحانه وتعالى فوق سبع سمواته على عرشه مستوٍ، كما نطق به كتابه في قوله عز وجل في سورة يونس: إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)...
“Para ahli hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala berada di atas tujuh langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Kitab-Nya dalam surat Yuunus : ‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan’ (QS. Yuunus : 3)…” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 44, tahqiq : Abul-Yamiin Al-Manshuuriy;  Daarul-Minhaaj, Cet. 1/1423 H].
25.   Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah (w. 463 H).
وفيه دليل على أن الله - عز وجل - في السماء على العرش من فوق سبع سموات، كما قالت الجماعة، وهو من حججهم على المعتزلة والجهمية، في قولهم إن الله - عز وجل - في كل مكان، وليس على العرش، والدليل على صحة ما قالوه أهل الحق في ذلك قول الله - عز وجل - {الرحمن على العرش استوى}...وقوله {إليه يصعد الكلم الطيب}... وقال جل ذكره {سبح اسم ربك الأعلى} وهذا من العلو...
“Padanya terdapat dalil bahwasannya Allah ‘azza wa jallaa berada di langit di atas ‘Arsy, dari atas tujuh langit sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan hadits tersebut (yaitu hadits nuzuul – Abul-Jauzaa’) merupakan hujjah mereka (Ahlus-Sunnah wal Jama'ah) terhadap Mu’tazilah dan Jahmiyyah atas perkataan mereka : ‘Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla ada di setiap tempat, dan tidak berada di atas ‘Arsy’. Dalil atas kebenaran apa yang dikatakan oleh ahlul-haq (orang-orang yang menetapi kebenaran) terhadap permasalahan tersebut adalah firman Allah ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy (QS. Thaha : 5), dan firman-Nya : ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya’ (QS. Faathir : 10), dan firman-Nya : ‘Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi (QS. Al-A’laa : 1). Dan ini termasuk sifat Al-‘Ulluw....” [At-Tamhiid, 7/129-131 dengan peringkasan – melalui perantaraan kitab ‘Aqiidatu Al-Imaam Ibni ‘Abdil-Barr fit-Tauhiid wal-Iimaan, oleh Sulaimaan bin Shaalih Al-Ghushn, hal. 318; Daarul-‘Aashimah, Cet. 1/1416 H].
26.   Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah (w. 620 H).
فإن الله تعالى وصف نفسه بالعلو في السماء ووصفه بذلك محمد خاتم الأنبياء، وأجمع على ذلك جميع العلماء من الصحابة الأتقياء والأئمة من الفقهاء، وتواترت الأخبار بذلك على وجه حصل به اليقين
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah mensifatkan diri-Nya dengan al-‘ulluw (ketinggian) di atas langit, dan juga telah mensifatkan-Nya dengan hal itu Muhammad penutup para Nabi. Seluruh ulama dari kalangan shahabat yang bertaqwa dan para imam kalangan fiqahaa’ telah bersepakat tentang hal itu (ketinggian Allah di atas langit). Dan telah mutawatir hadits-hadits yang berkenaan dengannya yang menghasikan keyakinan...” [Itsbaatu Shifatil-‘Ulluw oleh Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy, hal. 63, tahqiq : Dr. Ahmad bin ‘Athiyyah Al-Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1409 H].
27.   Abu ‘Abdillah Al-Qurthubiy rahimahullah (w. 671 H).
أن الله على عرشه كما أخبر في كتابه، وعلى لسان نبيه، بلا كيف، بائن من جميع خلقه هذا جملة مذهب السلف الصالح فيما نقل عنهم الثقات
“Bahwasannya ‘Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Ia khabarkan dalam kitab-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya, dan terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Ini merupakan perkataan madzhab ­as-salafush-shaalih yang dinukil oleh para perawi tsiqaat dari mereka” [Al-Asnaa fii Syarh Al-Asmaail-Husnaa, 2/132 – melalui perantaraan muqaddimah muhaqqiq kitab Khalqu Af’alil-‘Ibaad lil-Bukhaariy, 1/171; Daarul-Athlas, Cet. 1/1425 H].
Ketinggian Allah di atas langit-langit-Nya adalah sesuatu yang sangat jelas dan sangat mudah dipahami oleh generasi salaf. Bahkan budak wanita yang tidak terpelajar pun paham, ketika ia ditanya : ‘Dimanakah Allah ?’, maka ia menjawab : ‘Di atas langit’.
حدثنا أبو جعفر محمد بن الصباح، وأبو بكر بن أبي شيبة (وتقاربا في لفظ الحديث) قالا: حدثنا إسماعيل بن إبراهيم عن حجاج الصواف، عن يحيى بن أبي كثير، عن هلال بن أبي ميمونة، عن عطاء بن يسار، عن معاوية بن الحكم السلمي؛ قال: ...... وكانت لي جارية ترعى غنما لي قبل أحد والجوانية. فاطلعت ذات يوم فإذا الذيب [الذئب؟؟] قد ذهب بشاة من غنمها. وأنا رجل من بني آدم. آسف كما يأسفون. لكني صككتها صكة. فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فعظم ذلك علي. قلت: يا رسول الله! أفلا أعتقها؟ قال "ائتني بها" فأتيته بها. فقال لها "أين الله؟" قالت: في السماء. قال "من أنا؟" قالت: أنت رسول الله. قال "أعتقها. فإنها مؤمنة".
Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shabbaah dan Abu Bakr bin Abi Syaibah (yang keduanya berdekatan dalam lafadh hadits tersebut), mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hajjaaj Ash-Shawaaf, dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dari Hilaal bin Abi Maimuunah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Mu’aawiyyah bin Al-Hakam As-Sulamiy, ia berkata : “…..Aku mempunyai seorang budak wanita yang menggembalakan kambingku ke arah gunung Uhud dan Jawwaaniyyah. Pada suatu hari aku memantaunya, tiba-tiba ada seekor serigala yang membawa lari seekor kambing yang digembalakan budakku itu. Aku sebagaimana manusia biasa pun marah sebagaimana orang lain lain marah (melihat itu). Namun aku telah menamparnya, lalu aku mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar apa yang telah aku lakukan. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerdekakannya ?’. Beliau menjawab : ‘Bawalah budak wanita itu kepadaku’. Aku pun membawanya kepada beliau. Lalu beliau (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam) bertanya kepada budak wanita itu : ‘Dimanakah Allah ?. Ia menjawab : ‘Di langit’. Beliau bertanya lagi : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah (Rasulullah)’. Beliau pun bersabda : ‘Bebaskanlah, sesungguhnya ia seorang wanita beriman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 537 – lihat bahasannya di sini].
Begitu juga dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang berisyarat ke langit ketika berbicara tentang Allah ta’ala.
حدثنا وكيع عن إسماعيل عن قيس قال : لما قدم عمر الشام استقبله الناس وهو على البعير فقالوا : يا أمير المؤمنين لو ركبت برذونا يلقاك عظماء الناس ووجوههم ، فقال عمر : لا أراكم ههنا ، إنما الامر من هنا - وأشار بيده إلى السماء
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Ismaa’iil, dari Qais, ia berkata : Ketika ‘Umar baru datang dari Syaam, orang-orang menghadap kepadanya dimana ia waktu itu masih di atas onta tunggangannya. Mereka berkata : “Wahai Amiirul-Mukminiin, jika saja engkau mengendarai kuda tunggangan yang tegak, niscaya para pembesar dan tokoh-tokoh masyarakat akan menemuimu”. Maka ‘Umar menjawab : “Tidakkah kalian lihat, bahwasannya perintah itu datang dari sana ? – Dan ia (‘Umar) berisyarat dengan tangannya ke langit” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 13/40; shahih].

Namun, datanglah kemudian generasi yang tersibukkan dengan ilmu filsafat/kalam. Mereka menolak pemahaman generasi salaf tentang keberadaan Allah di atas langit. Mereka pun membuat aneka macam teori yang membingungkan. Jika kita mengatakan Allah berada di atas langit ketujuh dan di atas ‘Arsy-Nya, maka – kata mereka - itu sama saja Allah membutuhkan tempat. Lalu dengan lancangnya mereka kemudian berfatwa untuk ‘melarang’ pelaziman perkataan : ‘Dimanakah Allah (ainallah) ?’. Ini adalah sebodoh-bodoh pemahaman. Abu Muhammad ‘Abdul-

Ghaniy Al-Maqdisiy rahimahullah (w. 600 H) berkata :
ومن أجهل جهلا، وأسخف عقلا، وأضل سبيلا ممن يقول إنه لا يجوز أن يقول : أين الله، بعد ما تصريح صاحب الشريعة بقوله [إين الله] ؟!.
Dan termasuk kebodohan yang paling bodoh, akal yang paling lemah, dan jalan yang paling sesat adalah orang yang mengatakan tidak diperbolehkannya untuk berkata : ‘Dimanakah Allah ?’, setelah adanya kejelasan dari shaahibusy-syarii’ah (yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dengan sabdanya : ‘Dimanakah Allah ?” [Al-Iqtishaad fil-I’tiqaad oleh ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy, hal. 89, tahqiq : Dr. Ahmad bin ‘Athiyyah Al-Ghaamidiy; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1414 H].
Seandainya mereka (ahli kalam) ditanya : ‘Dimanakah Allah ?’, mereka akan menjawab : ‘Allah itu tidak di langit, tidak di bumi, tidak di atas, tidak di bawah, tidak di dalam alam, tidak di luar alam.
Lantas dimanakah sebenarnya Allah itu menurut mereka ?.
Dan mereka (ahli kalam) mengatakan bahwa jika kita menetapkan bahwa Allah ta’ala ada di atas, di atas langit, dan di atas ‘Arsy-Nya; maka itu sama saja menyamakan Allah ta’ala dengan makhluk. Akhirnya, Ahlus-Sunnah mereka gelari dengan gelaran-gelaran buruk seperti mujassim atau musyabbih.
Adz-Dzahabiy rahimahullah (w. 748 H) berkata :
مقالة السلف وأئمة السنة بل والصحابة والله ورسوله والمؤمنون، أن الله عز وجل في السماء، وأن الله على العرش، وأن الله فوق سماواته، وأنه ينزل إلى السماء الدنيا، وحجتهم على ذلك النصوص والآثار.

ومقالة الجهمية: أن الله تبارك وتعالى في جميع الأمكنة، تعالى الله عن قولهم، بل هو معنا أينما كنا بعلمه.
ومقال متأخري المتكلمين: أن الله تعالى ليس في السماء، ولا على العرش، ولا على السموات، ولا في الأرض، ولا داخل العالم، ولا خارج العالم، ولا هو بائن عن خلقه ولا متصل بهم! وقالوا: جميع هذه الأشياء صفات الأجسام والله تعالى منزه عن الجسم!
قال لهم أهل السنة والأثر: نحن لا نخوض في ذلك، ونقول ما ذكرناه اتباعا للنصوص، وإن زعمتم... ولا نقول بقولكم، فإن هذه السلوب نعوت المعدوم، تعالى الله جل جلاله عن العدم، بل هو موجود متميز عن خلقه، موصوف بما وصف به نفسه، من أنه فوق العرش بلا كيف.
“Perkataan salaf dan para imam sunnah, bahkan para shahabat, Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman : Bahwasannya Allah ‘azza wa jalla di langit. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy, di atas langit-langit-Nya. Ia turun ke langit dunia. Hujjah mereka atas hal itu adalah nash-nash dan atsar-atsar.
Adapun perkataan Jahmiyyah : Allah tabaaraka wa ta’ala ada di seluruh tempat. Maha Tinggi Allah dari perkataan mereka itu. Namun, Allah bersama kita di mana saja kita berada dengan ilmu-Nya.
Dan perkataan ahli kalam kontemporer : Allah ta’ala tidak di langit, tidak di atas ‘Arsy, tidak di atas langit-langit-(Nya), tidak di bumi, tidak berada di dalam alam, tidak di luar alam, tidak terpisah dari makhluk-Nya, dan tidak pula melekat dengannya !. Mereka (ahli kalam) berkata : ‘Semua hal ini merupakan sifat jism (tubuh), dan Allah ta’ala suci dari sifat jism (tubuh)’.[2]
Orang-orang yang berpegang pada sunnah dan atsar (Ahlus-Sunnah wal-Atsar) berkata kepada mereka : ‘Kami tidak akan berlarut-larut dalam hal itu. Kami mengatakan apa yang telah kami sebutkan tentangnya, yaitu mengikuti nash-nash. Dan seandainya kalian menyangkakan sesuatu, .... maka kami tidak akan berkata dengan perkataan kalian, karena pernyataan-pernyataan tersebut adalah sifat-sifat bagi sesuatu yang tidak ada (ma’duum). Maha Tinggi Allah jalla jalaaluhu dari ketiadaan. Bahkan Ia ada (maujuud) lagi terpisah dari makhluk-Nya. Allah disifati dengan apa-apa yang Ia sifatkan dengannya bagi diri-Nya, bahwasannya Ia di atas ‘Arsy tanpa perlu ditanyakan ‘bagaimana’” [Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar oleh Adz-Dzahabiy, hal. 107, tashhiih : ‘Abdurrahmaan bin Muhammad ‘Utsmaan; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H].
Adapun tentang tuduhan tasybiih, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan :
والمقصود هنا أن أهل السنة متفقون على أن الله ليس كمثله شيء, لا في ذاته ولا في صفاته ولا في أفعاله, ولكن لفظ التشبيه في كلام الناس لفظ مجمل, فإن أراد بنفي التشبيه ما نفاه القرآن, ودل عليه العقل فهذا حق, فإن خصائص الرب تعالى لا يماثله شيء من المخلوقات في شيء من صفاته....., وإن أراد بالتشبيه أنه لا يثبت لله شيء من الصفات, فلا يقال له علم, ولا قدرة ولا حياة, لأن العبد موصوف بهذه الصفات فيلزم أن لا يقال له: حي, عليم, قدير لأن العبد يسمى بهذه الأسماء, وكذلك في كلامه وسمعه وبصره ورؤيته وغير ذلك......
“Dan yang dimaksud di sini, Ahlus-Sunnah sepakat bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Tidak dalam Dzaat-Nya, sifat-Nya, ataupun perbuatan-perbuatan-Nya. Akan tetapi lafadh tasybiih dalam perkataan manusia adalah lafadh yang mujmal. Apabila yang diinginkan dengan penafikan tasybiih adalah apa-apa yang dinafikkan Al-Qur’an dan ditunjukkan oleh akal (sehat), maka ini benar. Hal ini dikarenakan kekhususan-kekhususan Rabb ta’ala tidaklah disamai sesuatupun dari makhluk-makhluk,.... Dan apabila yang diinginkan dengan tasybiih tersebut bahwa tidak ada satu pun sifat yang boleh ditetapkan untuk Allah, sehingga tidak boleh dikatakan pada-Nya ilmu, qudrah, dan hidup, karena hamba juga disifati dengan sifat-sifat ini; maka ia mengkonsekuenskan tidak boleh dikatakan pada-Nya : Yang Maha Hidup, Yang Maha Mengetahui, dan Maha Berkuasa, karena hamba juga dinamai dengan nama-nama ini. Begitu juga halnya dengan firman-Nya, pendengaran-Nya, pengelihatan-Nya, ru’yah-Nya, dan yang lainnya.....” [Minhajus-Sunnah, melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh Al-Albaaniy, hal. 68; Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 2/1412 H].
Tasybih menurut pemahaman Ahlus-Sunnah tidaklah seperti yang mereka sangka.
وقَالَ إِسْحَاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ: إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ: يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ، فَإِذَا قَالَ: سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ، وَأَمَّا إِذَا قَالَ: كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: " يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ " وَلَا يَقُولُ كَيْفَ، وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ، فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا، وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Dan Ishaaq bin Rahawaih berkata : “Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ‘Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)”. Jika ia berkata : ‘Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk)’, maka inilah yang dinamakan tasybih (penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak mengatakan : ’bagaimana’ dan tidak pula mengatakan ’seperti’ pendengaran makhluk; maka itu tidak termasuk tasybih. Dan itu sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. Asy-Syuuraa : 11)”  [Sunan At-Tirmidziy, 2/43, tahqiq : Basyaar ‘Awwaad Ma’ruuf; Daarul-Gharb Al-Islaamiy, Cet. 1/1996 M].
Abu ‘Utsmaan Ash-Shaabuuniy rahimahullah berkata :
ولا يحرفون الكلام عن مواضعه، بحمل اليدين على النعمتين، أو القوتين؛ تحريف المعتزلة والجهمية – أهلكهم الله-، ولا يكيفونهما بكيف، أو يشبهونهما بأيدي المخلوقين، تشبيه المشبهة –خذلهم الله-
“Dan tidak mentahrif (merubah) perkataan dari tempatnya, (seperti misal) dengan membawa makna ‘dua tangan’ pada makna ‘dua nikmat’ atau ‘dua kekuatan’ sebagaimana tahrif kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyyah – semoga Allah membinasakan mereka - . Tidak pula men-takyif-nya dengan (pertanyaan) ‘bagaimana’, atau men-tasybih-nya dengan tangan kedua makhluk seperti tasybih-nya kelompok Musyabbihah – semoga Allah tidak memberi pertolongan kepada mereka – “ [Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabil-Hadiits, hal. 37].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
ليس يلزم من إثبات صفاته شيء من إثبات التشبيه والتجسيم، فإن التشبيه إنما يقال: يدٌ كيدنا ... وأما إذا قيل: يد لا تشبه الأيدي، كما أنّ ذاته لا تشبه الذوات، وسمعه لا يشبه الأسماع، وبصره لا يشبه الأبصار ولا فرق بين الجمع، فإن ذلك تنزيه
“Tidaklah penetapan sifat-sifat-Nya mengkonsekuensikan adanya penetapan tasybiih dan tajsiim, karena tasybiih itu hanyalah jika dikatakan : ‘tangan seperti tanganku...... Adapun jika dikatakan : ‘tangan namun tidak menyerupai tanganku’, sebagaimana Dzaat-Nya tidak menyerupai dzat-dzat makhluk, pendengaran-Nya tidak menyerupai pendengaran-pendengaran makhluk, dan penglihatan tidak menyerupai penglihatan-penglihatan makhluk, maka itulah yang disebut tanziih [Al-Arba’iin min Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, hal. 104, tahqiq : ‘Abdul-Qaadir ‘Athaa’; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413 H].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
ومُحالٌ أن يكون مَن قال عن اللهِ ما هو في كتابه منصوصٌ مُشبهًا إذا لم يُكيّف شيئا، وأقرّ أنه ليس كمثله شيء
“Dan tidaklah mungkin terjadi pada orang yang berbicara tentang Allah sesuatu yang ternashkan dalam kitab-Nya disebut sebagai musyabbih, ketika ia tidak men-takyif-nya sedikitpun dan mengatakan tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” [Al-Istidzkaar oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, 8/150, tahqiq : Dr. ‘Abdul-Mu’thiy Al-Qal’ajiy; Daar Qutaibah, Cet. 1/1414 H].

Kembali ke bahasan, penetapan bahwa Allah dengan Dzat-Nya mempunyai sifat ketinggian di atas semua makhluk-Nya itu tidaklah mengkonsekuensikan tasybiih hanya karena ada sebagian kesamaan bahwa sifat tinggi juga dimiliki oleh makhluk-Nya. Hanya saja, ketinggian Allah adalah ketinggian yang sempurna yang tidak ada sesuatu pun yang menyamainya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – senayan, jakarta – 1432 H].

[1]      Karena yang bersama hamba-Nya itu adalah ilmu-Nya.
[2]      Jika Anda perhatikan, apa yang dikatakan Adz-Dzahabiy tentang ahli kalam ini merupakan realitas perkataan Asyaa’irah. Lebih-lebih, ketika mereka membantah Ahlus-Sunnah

http://abul-jauzaa.blogspot.com